FOTO : Ilustrasi anak gendong ibu [ ist ]
BELUM hilang cerita Mbah Nasikah yang dibuang dua anaknya ke panji jompo. Sekarang, muncul cerita serupa.
Ada empat anak kandung rela dan ikhlas menitipkan sang ibu ke Griya Lansia. Netizen tidak terima. Mari kita ungkap “anak buang ibu” sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Namanya Siti Fatimah. Usianya 65 tahun. Rambutnya putih seluruhnya, bukan karena pewarna, tapi karena waktu dan penderitaan.
Tubuhnya ringkih, tulangnya berderak seperti kursi kayu tua, bibirnya gemetar, separuh wajahnya kaku akibat stroke. Tapi ia masih bisa memandang. Masih bisa berharap. Masih bisa bertanya dalam hati, “Mengapa aku harus diakhiri seperti ini?”
Ia bukan siapa-siapa bagi dunia, tapi ia adalah segalanya bagi empat manusia yang pernah ia lahirkan dari rahimnya sendiri, dengan darah, peluh, dan air mata. Empat anak kandung.
Bukan anak tiri. Bukan anak angkat. Anak-anak yang dulu ia panggil dengan doa sebelum tidur, yang ia dekap saat demam, yang popoknya ia ganti dengan tangan sendiri karena cinta, bukan karena gaji.
Kini, keempat anak itu sepakat, dengan cara yang sangat rapi dan sah secara moral modern, untuk menyerahkan ibu mereka ke Griya Lansia Khusnul Khatimah di Malang, Jawa Timur.
Bukan karena benci. Tentu saja bukan. Tapi karena tak punya rumah. Karena sibuk bekerja. Karena tidak ada waktu. Karena, karena, karena… sejuta alasan yang lebih dingin dari udara pagi di balik dinding panti jompo.
LA, anak kedua, mewakili saudaranya, menyampaikan pernyataan yang sangat manusiawi. Tidak ada niat membuang ibu, katanya. Ia hanya ingin ada yang merawat. Karena ibunya sudah stroke, sering mengompol, dan ia sendiri hanya menumpang di rumah sepupu.
Rumah sendiri tak punya. Pekerjaan pun pas-pasan. Tiga saudaranya? Sudah angkat tangan. Mungkin jari-jarinya sibuk menghitung tagihan hidup.
Maka datanglah serah terima. Bukan dalam suasana duka, tapi seperti menyerahkan motor rusak ke bengkel. Di hadapan Arief Camra dari pihak Griya Lansia, prosesnya berjalan cepat. Efisien. “Setuju?” tanya Arief. “Setuju,” jawab LA.
Singkat. Tegas. Dingin. Lalu berjabat tangan. Ditandatangani. Selesai. Tidak ada air mata. Tidak ada pelukan. Hanya legalitas yang membungkam rasa bersalah.
Siti Fatimah, ibu yang dulu berdiri berjam-jam di dapur demi menanak nasi untuk keempat anaknya, kini tidur di ranjang sunyi, jauh dari wajah-wajah yang pernah ia beri nama sendiri.
Ia tidak tahu bahwa dirinya telah “dilepas total.” Bahwa jika suatu hari kelak ia meninggal, maka akan dimakamkan oleh petugas panti. Bahwa tidak akan ada anak yang memegang tangannya saat ajal tiba. Bahwa satu-satunya yang akan mengingat namanya adalah papan nama kecil di pemakaman lansia.
Di negeri yang konon memuliakan orang tua, yang katanya menjunjung budaya ketimuran, seorang ibu bisa dilupakan begitu mudahnya. Bukan karena anak-anaknya jahat.
Tapi karena dunia ini telah mengajarkan bahwa cinta itu adalah halangan. Bahwa kasih sayang bisa di-outsource ke lembaga sosial.
Tak ada hukuman untuk anak-anak seperti ini. Tak ada pasal pidana untuk melepaskan ibu yang lumpuh. Tidak ada makian dari tetangga.
Karena semuanya dibungkus dengan dalih, “Yang penting dirawat.” Tapi siapa yang akan mencium keningnya? Siapa yang akan memijat punggungnya sambil berkata, “Ibu sabar ya, aku di sini”? Tak ada.
Siti Fatimah tidak dibuang. Ia hanya diletakkan. Dilepaskan. Ditinggalkan. Itu jauh lebih kejam daripada sekadar dibuang.
Jika kelak ia meninggal, semoga Tuhan menyambutnya dengan pelukan, karena pelukan anak-anaknya telah lama raib bersama idealisme yang dibunuh oleh biaya hidup.
Saya salut dan hormat pada Arief Camra. Di saat orang tua jadi beban hidup anak, lewat Griya Lansia, ia rawat orang-orang yang sudah senja itu.
Coba bayangkan bila tak ada orang model Arief, mau kemana anak buang orang tuanya lagi. Wak, dibutuhkan keikhlasan dan cinta merawat orang tua yang sudah sepuh. Hanya itu jawabannya.
#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]