Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
PANORAMA Coffee Jalan Diponegoro Pontianak tempat pengopi dompet tipis nyantai.
Di salah satu pojokan, Wak Dalek dan Wan Dolah, dua pensiunan dengan banyak waktu dan lebih banyak teori, sedang menyeruput kopi panconf dengan kadar keasaman yang hampir setara dengan komentar netizen.
“Jadi, Wan, Rektor UIN itu bilang dia malu setengah mati, marah, tertampar. Pertanyaanku, dia kena tampar siapa? Malaikat Izrail?” ujar Wak Dalek sambil memutar sendok kecilnya.
Wan Dolah menggeleng sambil tersenyum kecut. “Itu istilah, Wak. Maksudnya reputasi kampusnya remuk. Tapi ya, kita musti heran juga. Sebagai Rektor, masak nggak tahu di bawah hidungnya ada mesin cetak uang palsu?
Itu bukan mesin fotokopi mini, lho! Ini teknologi China, Wak. Kalau mau disembunyiin, paling nggak kan kedengeran bunyinya whirrr, cetak, krak!. Atau dia pakai peredam suara ala studio podcast?”
Wak Dalek tertawa keras, hingga hampir menyedot ampas kopi. “Coba kau pikir, Wan. Selama bertahun-tahun itu uang palsu dicetak, trus siapa yang konsumennya?
Alumni UIN? Jadi kalau kita lihat warung yang hanya jual dua bungkus kerupuk tapi bisa buka cabang ke Paris, kita udah tahu jawabannya?”
“Kau terlalu jauh, Wak. Mungkin ini cuma oknum. Tapi kalau oknum sampai 17 orang, itu bukan oknum lagi. Itu sudah seperti startup!” jawab Wan Dolah dengan nada serius bercampur ndagel.
Mereka terdiam sejenak. Di layar televisi kafe, berita tentang Rektor Hamdan Juhannis terus berputar. “Kami malu, marah, merasa tertampar,” katanya dengan ekspresi tanpa dosa.
“Wak..!” Wan Dolah memecah keheningan. “Aku ada teori lain. Mungkin Rektor memang nggak tahu. Mungkin dia sibuk mengurusi hal-hal lebih besar seperti mendirikan fakultas baru, bikin seminar internasional, atau menghitung jumlah mahasiswa yang ngopi di kantin pakai uang semesteran.”
“Tapi, Wan, kalau dia nggak tahu, artinya sistemnya rusak. Ini kampus Islam, lho. Ada Syariah, ada Ushuluddin. Masak nggak ada yang berpikir bahwa mencetak uang palsu itu nggak cuma melanggar hukum, tapi juga bikin Nabi menangis di surga? Ini bukan cuma soal hukum negara. Ini soal moral, soal iman.”
Wan Dolah mengangguk. “Betul juga, Wak. Mungkin inilah paradoks modernitas. Di satu sisi kita sibuk mengajarkan agama dan moral, tapi di sisi lain kita sibuk mencari celah untuk memanipulasinya. Mungkin benar apa kata Nietzsche, Tuhan sudah mati.”
Mereka berdua tertawa kecil, meski sebenarnya getir.
“Apa solusinya, Wan? Kampus harus gimana?” tanya Wak Dalek akhirnya.
“Solusi? Ah, itu gampang.
Pertama, Rektor harus berhenti bilang ‘kami malu, marah, tertampar.’ Itu nggak bikin mesin uang palsu berhenti, malah bikin dia kayak aktor sinetron.
Kedua, semua uang palsu itu dibakar, terus abunya dijadikan tinta untuk skripsi mahasiswa. Itu baru simbol penebusan dosa.
Ketiga, Rektor jangan lupa bawa uang asli kalau mau bayar kopi di sini. Karena kalau nggak, aku curiga, Wak, kita lagi minum kopi pakai duit palsu dari UIN.”
Keduanya tertawa keras, kali ini sampai pelayan kafe melirik curiga. Entah karena suara mereka, atau karena pelayan itu diam-diam alumni UIN.
#camanewak