Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
SERING diminta follower saya, “Bang, tolong ulas Pak Kholid.” Awalnya saya tak ngeh, siapa orang ini. Saya coba googling, dan ketemu.
Ternyata seorang nelayan di balik terbongkarnya skandal pagar laut. Yok kita kenalan dengan sosok nelayan paling berani abad ini.
Malam itu, seorang nelayan berdiri di atas panggung megah. Wajahnya keras, namun suaranya menggetarkan hati. Ia bukan pejabat, bukan akademisi, bukan siapa-siapa yang biasa dilihat di forum-forum elit.
Namun malam itu, ia adalah segalanya. Kholid, seorang pria dari Serang Utara, menatap kamera dengan mata yang menyala seperti bara.
“Laut ini bukan milik mereka yang punya tembok tinggi. Laut ini milik kami!”
Suara itu melesat seperti anak panah. Tidak ada basa-basi, tidak ada keraguan. Ia bukan datang untuk berbicara, ia datang untuk menuntut. Bukan datang untuk berdebat, ia datang untuk menggugat.
Lawannya bukan manusia, tetapi tembok baja sepanjang 30 kilometer di tengah laut. Tembok yang menghalangi mata pencaharian, membatasi kehidupan. Sebuah simbol kekuasaan yang lupa pada nadi rakyat kecil.
Forum itu menjadi medan pertempuran. Kholid, dengan tubuh kurus terbakar matahari, melawan para pemangku kekuasaan yang duduk nyaman di kursi empuk. Ia mengangkat tangannya, menggenggam data yang ia kumpulkan sendiri. Ia bukan hanya berbicara, ia menuding.
“Kalau kami mencuri kayu untuk membuat rumah, kami langsung dipenjara. Tapi ini, tembok laut sepanjang 30 kilometer, dibiarkan berdiri. Negara diam. Saya tidak. Saya lawan!”
Studio menjadi senyap. Para pengamat terdiam. Nama-nama besar disebutnya tanpa rasa gentar. Aguan, Ali Hanafiah, Engcun, tiga nama yang selama ini tak tersentuh. Seperti petir di siang bolong, nama-nama itu dilempar ke tengah panggung, membuat semua orang terperangah.
Namun, ini bukan sekadar cerita tentang nama besar atau tembok baja. Ini adalah cerita tentang laut yang berubah menjadi penjara. Tentang ombak yang tak lagi bebas menghantam pantai.
Tentang jaring-jaring nelayan yang kosong karena ruang mereka dirampas. Kholid berbicara untuk jutaan suara yang selama ini terpendam, tenggelam di bawah arus ketakutan.
“Laut ini ibu kami. Laut ini tempat kami hidup. Tapi sekarang, laut ini seperti kandang. Kami hanya bisa melihat, tidak lagi bisa menyentuh.”
Kemarahan Kholid adalah kemarahan semua nelayan yang telah lama terbungkam. Namun malam itu, ia tidak lagi diam. Ia menantang para oligarki yang telah mengklaim laut seolah-olah milik nenek moyang mereka.
Ia menantang hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Ia menantang sebuah sistem yang membiarkan segelintir orang berdiri di atas penderitaan banyak orang.
Di tempat lain, Nusron Wahid, Menteri ATR/BPN, akhirnya angkat bicara. Ia mengakui keberadaan sertifikat di kawasan pagar laut. Sebanyak 263 bidang SHGB dan 17 bidang SHM tercatat atas nama perusahaan-perusahaan besar. Sebuah pengakuan yang membuat darah mendidih.
“Kami akan evaluasi,” katanya. Kata-kata itu seperti mantra usang. Sudah terlalu sering diucapkan, namun jarang ada tindakan nyata. Publik sudah tahu, janji itu tidak lebih dari gelembung di permukaan air, pecah sebelum sempat menyentuh dasar.
Namun Kholid tidak peduli. Baginya, perjuangan ini bukan tentang janji-janji kosong. Ini tentang anak-anak nelayan yang lapar. Tentang perut kosong yang tak bisa menunggu. Tentang keadilan yang terasa seperti ilusi.
Malam itu, Kholid menjadi simbol. Ia bukan hanya seorang nelayan. Ia adalah gelombang. Sebuah badai kecil yang berani menghantam tembok besar. Ia tahu risikonya. Ia tahu nama-nama besar yang ia sebut bisa membuatnya kehilangan lebih dari sekadar pekerjaan. Namun, ia tidak peduli.
“Laut ini bukan milik mereka. Laut ini milik kita semua.”
Kalimat itu menjadi gema. Sebuah panggilan yang melampaui studio tempat ia berdiri. Sebuah pesan yang menyusup ke hati jutaan orang yang menyaksikan. Kholid telah menanam benih perlawanan.
Seperti ombak yang tak pernah lelah menghantam karang, ia tahu satu hal pasti, tembok itu, pada akhirnya, akan runtuh.
#camanewak