Danantara, Harapan Baru Indonesia


Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

KEMARIN mahasiswa demo. Alasannya, Indonesia Gelap. Lalu, dibalas pemerintah dengan harapan baru, Danantara.

“Ape bende age tu, Bang?” tanya budak Pontianak. Sambil menikmati kopi tubruk tanpa gula, yok kita bahas Danantara yang banyak dipesan follower saya.

Indonesia tidak pernah kekurangan mimpi besar. Kita pernah bermimpi punya mobil nasional, tapi berakhir jadi bahan meme. Kita pernah bercita-cita jadi lumbung pangan dunia, tapi malah sibuk impor beras.

Kita pernah janji setop utang, tapi utang terus bertambah. Tapi, tenang. Kini hadir Danantara, cahaya baru di ujung terowongan ekonomi. Harapan baru di tengah efisiensi anggaran.

Nama lengkapnya, Daya Anagata Nusantara. Artinya? “Energi Masa Depan Indonesia.” Ini bukan sekadar nama, ini mantra sakti. Sebuah janji bahwa Indonesia akan melesat ke masa depan dengan kekuatan baru.

Presiden Prabowo Subianto siap meluncurkannya pada 24 Februari 2025. Katanya, ini akan menjadi lembaga pengelola investasi terbesar yang pernah dimiliki negeri ini. Sebanding dengan Temasek di Singapura, Khazanah di Malaysia. Luar biasa, wak!

Tapi, sejarah mengajarkan kita satu hal, mimpi besar sering kali berakhir sebagai patung proyek mangkrak. Danantara berjanji akan mengelola kekayaan negara, mengoptimalkan aset, dan membawa Indonesia ke puncak kejayaan ekonomi. Persis seperti kisah-kisah sukses dalam buku-buku ekonomi. Tapi kenyataan sering kali lebih keras dari halaman buku.

Modal awalnya? US$20 miliar. Jangan salah. Ini bukan uang yang jatuh dari langit. Ini hasil dari pemotongan anggaran negara dan dividen BUMN. Dalam bahasa sederhana, duit rakyat dan keuntungan perusahaan pelat merah akan disalurkan ke sini. Sebuah pengorbanan besar demi masa depan yang katanya lebih cerah.

Danantara akan membiayai 15 megaproyek bernilai miliaran dolar. Proyek-proyek strategis yang, jika berhasil, akan membawa Indonesia ke level baru dalam perekonomian global. Energi terbarukan, industri canggih, manufaktur, produksi pangan, semua sektor penting akan disentuh. Visi ini begitu sempurna. Terlalu sempurna, bahkan.

Tapi pertanyaannya, apa bedanya Danantara dengan BUMN yang sudah ada? Bukankah kita sudah punya ratusan BUMN yang tugasnya juga mengelola aset negara? Jawabannya sederhana, Danantara bukan sekadar BUMN.

Ini adalah superholding. Bayangkan semua BUMN yang ada dikendalikan oleh satu tangan besar. Sentralisasi total. Satu komando, satu kekuatan, satu mimpi besar.

Tapi sejarah juga mengajarkan bahwa ketika kekuasaan terlalu terpusat, risiko semakin tinggi. Apakah ini akan menciptakan efisiensi atau justru memperlambat segalanya dengan birokrasi? Apakah ini akan melahirkan kejayaan atau malah membuka ruang lebih besar bagi kepentingan politik? Apakah ini akan membawa keuntungan bagi rakyat atau hanya jadi ladang baru bagi oligarki?

Kritik mulai berdatangan. Transparansi dan akuntabilitas jadi pertanyaan. Dasar hukum pembentukannya dipertanyakan. Kekhawatiran akan politisasi semakin nyaring. Tapi pemerintah tetap percaya diri. Seperti biasa, rakyat diminta untuk percaya dulu. Bersabar dulu. Memberi kesempatan dulu. Sabar ya, wak!

Sejarah akan mencatat. Apakah Danantara akan menjadi mercusuar ekonomi Indonesia, atau sekadar proyek ambisius yang akan dikenang sebagai satu lagi eksperimen yang gagal? Akankah ini menjadi awal dari era baru ekonomi Indonesia atau justru jadi pengulangan kisah lama yang sudah sering kita lihat?

Satu hal yang pasti, saat ini, yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu. Berharap. Atau, jika ingin lebih realistis, mempersiapkan mental untuk kejutan-kejutan berikutnya.

“Coretax biayanya 1,2 triliun. Sedangkan Deepseek yang menggucang dunia hanya 97,8 miliar. Gimana tu, Bang?” tanya Matasam teman ngopi di Kafe Joss Mora Jl Wahidin Pontianak.

“Ente ni, kite ngomong Danantara, malah nanya Coretax. Ancore.”

#camanewak


Like it? Share with your friends!