FOTO : Ketua Satupena Kalbar, Dr. Rosadi Jamani
ADA HASIL survei, kepuasan rakyat pada Jokowi 82 persen. Bila ini benar, Pilpres cukup satu putaran. Tak perlu suara Prabowo dan pendukungnya lagi, cukup suara pecinta Pakde saja.
Cukup satu putaran. Bila seluruh pendukung koalisi partai pengusung O2 bersatu, suara didapat bisa di atas 60 persen. Apalagi suara fans Jokowi disatukan dengan suara koalisi, 02 bisa mencapai angka di atas 80 persen.
Pilpres cukup satu putaran. Kubu 02 cukup mager di rumah, tak perlu kampanye dengan biaya sampai triliunan. Logika sederhana.
Namun, hasil survei baik yang kredibel maupun abal-abal juga menunjukkan, tidak ada capres bisa menang satu putaran. Semua di bawah 50 persen. Pilpres hampir dipastikan berlangsung dua putaran.
Dari dua narasi di atas mana lebih masuk akal? Bagi pendukung 02, logika pertama lebih masuk akal. Makanya, muncul Gerakan Satu Putaran (GSP) yang dipimpin Muhammad Qodari.
Kelompok ini berjuang mati-matian agar Pilpres satu putaran. Logika yang dipakai seperti narasi pertama, ditambah kalau satu putaran ada 17 triliun uang rakyat bisa dihemat. Selain itu, potensi kerusuhan juga kecil.
GSP ingin 02 jadi presiden dengan satu putaran. Narasi ini mereka ulang-ulang agar rakyat cerdas, jangan salah pilih yang mengakibatkan Pilpres jadi dua putaran. Bila dua putaran Indonesia sepertinya akan kacau di mata GSP ini.
Di sisi lain, 01 dan 03 mulai merapatkan barisan. Bahkan, sudah ada pembicaraan tingkat elit parpol. Sepertinya dua kubu ini bersatu untuk menghadapi putaran kedua. Alasannya, dari lembaga survei juga Pilpres berlangsung dua putaran.
Alasan lain, 01 dan 03 selalu menampilkan gagasan terbaik untuk Indonesia. Di lapangan juga memperlihatkan antusias warga mendukungnya.
Sementara 02 yang didukung penguasa hanya menampilkan sisi happy, fun, dan kegirangan saja.
Kubu 02 tak suka teori, maunya langsung berbuat untuk rakyat. Sungguh pun 01 dan 03 menampilkan banyak gagasan tetap hasil survei jauh di bawah 02.
Logika satu putaran memang logis. Tak perlu khawatir lagi, tenang-tenang saja di rumah. Tak perlu kampanye atau hamburkan uang.
Tak perlu juga menanggapi tudingan 01 dan 03. Cukup dijogetin saja, toh kemenangan itu tinggal menunggu hari saja. Biarkan saja 01 dan 03 kampanye masuk kampung keluar kampung, toh akan kalah juga.
Buat apa hamburkan uang kalau toh akhirnya kalah. Bukan begitu logikanya wak.
Semua yang saya sampaikan itu hanya permainan logika saja. Prediksi di atas kertas. Padahal, di lapangan tidak demikian logikanya. Justru sulit diprediksi, kadang banyak tak masuk akal.
Fakta di lapangan, orang lebih senang memilih berdasarkan materi. Sangat jarang mengandalkan hati nurani atau akal sehat. Ada memang tak mau materi (duit), tapi sangat sedikit. Misalnya, ada caleg (apalagi capres) dengan uang sendiri atau lewat dana pokir mengaspal jalan sebuah komplek perumahan.
Rasanya tak tahu diri pula warga komplek itu tidak memilih caleg yang sudah berbuat nyata. Aspal itu bisa dirasakan lima tahun. Sementara uang 100 atau 500 ribu sekali masuk kafe, habis. Itu baru aspal jalan komplek, bagaimana dengan bangun jembatan, rumah ibadah, irigasi, jalan rabat beton, alat pertanian dan sebagainya.
Pemberian atau sumbangan skala besar ini membuat pemilih sulit berpaling. Cara ini pula yang membuat caleg pemula sulit bersaing dengan caleg incumbent. Cara ini pula dilakukan capres agar terpilih. Bagi yang hanya jualan janji manis, sulit bersaing. Di lapangan hanya jadi bahan cibiran.
“Datang ke sini hanya jualan janji, ngecap doang, sebungkus rokok pun tak ada,” ujar pemilih di tingkat desa. Di lapangan, uang atau materi yang berbicara.
Memang lagi ada yang gunakan cara menaklukan simpul massa, tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun ketua ormas. Cara ini juga lazim dilakukan oleh pendukung capres atau caleg.
Dijanjikan materi atau langsung didrop uang sekarung, siapa yang tak tergiur. Dengan catatan, seluruh pengikutnya coblos capres atau caleg sesuai pesanan. Banyak ormas yang sejatinya netral, tiba-tiba berpihak.
Banyak tokoh yang pengikutnya dari berbagai latar belakang, tiba-tiba mendukung capres tertentu. Banyak sih kisah tak masuk akal di lapangan.
Menjadi dominasi adalah kekuatan uang. Siapa banyak uang ia hampir dipastikan terpilih. Walaupun belum tentu juga, tapi mereka yang berduitlah umumnya terpilih.
Antara teori atau di atas kertas sering bertolak belakang di lapangan. Keyakinan bisa satu putaran atau dua putaran, ya kita tunggu saja pada di lapangan.
#camane wak