Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
LANGIT JAKARTA mendung kala Aguan, bos Agung Sedayu selama ini berselimut misteri.
Tiba-tiba ia memutuskan menampakkan dirinya. Dia muncul seperti hantu di tengah kabut, memberi wawancara eksklusif kepada Tempo.
Ini kejadian langka, hampir mistis. Selama bertahun-tahun, Aguan lebih akrab dengan rumor dari suara. Tetapi kali ini, dia bicara. Atau setidaknya, dia pikir dia bicara.
Lalu lahirlah tulisan itu. Judulnya tajam, nyaris seperti sembilu: “Investasi di IKN hanya pepesan kosong. Hanya menyelamatkan wajah presiden.” Satu kalimat yang meledak di ruang publik seperti meriam di tengah malam.
Publik tersentak, elite berkerut, dan Aguan? Dia marah. “Bukan itu yang aku katakan!” serunya. Suaranya pecah seperti gelas kristal jatuh ke lantai.
Drama dimulai. Tempo diseret ke tengah panggung, dituding sebagai pengarang cerita. Aguan, dengan kemarahan penuh teka-teki, seolah memainkan peran sebagai korban. Tapi siapa sebenarnya yang salah? Kata-kata itu tak mungkin muncul dari udara kosong.
Ada aroma aneh di sini. Seperti bau kertas terbakar. Mungkin Tempo terlalu bersemangat menyulut api dengan pilihan kata yang berani. Atau mungkin Aguan mencoba menari di antara bara, menyelamatkan reputasi yang mulai tergerus oleh gelombang protes PIK2.
Semuanya terasa seperti lakon teater absurd. Aguan, sosok yang biasanya diam, kini berdiri di bawah sorotan, mengatakan dia tak pernah berkata apa-apa.
Tempo, dengan pena di tangan, menolak mundur, mempertahankan integritas jurnalistiknya. Publik jadi penonton, terperangkap dalam kebingungan yang dirancang dengan cermat.
Kisah ini bukan sekadar tentang wawancara yang salah kutip. Ini adalah cermin dari zaman kita, di mana kebenaran sering kabur, tergulung oleh permainan kuasa.
Aguan mungkin merasa dikhianati, atau dia sengaja bermain peran untuk menyesuaikan naskahnya sendiri. Tempo mungkin terlalu jujur, atau mungkin terlalu kreatif.
Kita, yang menyaksikan dari balik layar, hanya bisa bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang menulis cerita ini? Tuhan? Oligarki? Atau Aguan sendiri?
Langit Jakarta tetap mendung. Mungkin, hujan akan segera turun, mencuci noda-noda yang tertinggal. Tapi tidak ada yang tahu apakah air itu cukup untuk membersihkan kisah ini.
#camanewak