FOTO : warga menggelar aksi sebagai bentuk protes kepada PT RAP (Ist)
Pewarta : R Rido Idnu Syahrie
radarkalbar. com, KAPUAS HULUS – Warga Desa Bukit Penai Kecamatan Silat Hilir Kabupaten Kapuas Hulu mengambil alih penguasaan lahan seluas 537,5 hektar dari perusahaan perkebunan sawit PT Riau Agroutama Plantation (RAP).
“Sikap warga tersebut sudah bermufakat dan tidak bisa diganggu gugat setelah melalui proses musyawarah dengan mempertimbangkan berbagai aspek,” kata Eko Budi Santoso, Kepala Desa Bukit Penai, Sabtu (13/11/2021) saat dikonfirmasi wartawan.
Perlawanan warga tersebut merupakan rentetan panjang dari kesewenang-wenangan pihak perusahan di wilayah Divisi II KSE. Kali ini warga sudah habis kesabaran setelah 20 tahun lahan mereka dijadikan hamparan kebun sawit tanpa alas hak.
“Persoalan utamanya karena PT RAP meletakkan lahan pengelolaan di lahan milik masyarakat transmigrasi,” ujar Eko.
Sikap warga tersebut telah dituangkan dalam bentuk surat berita acara kesepakatan ditandatangani pada 28 Oktober 2021. Surat ditembuskan kepada manajemen PT RAP dan sebagai bentuk pemberitahuan juga ditembuskan kepada Camat, Kapolsek dan Danramil di wilayah Silat Hilir.
Sebetulnya warga sudah memberikan toleransi dengan menuntut PT RAP Divisi II KSE untuk melepaskan lahan masyarakat Desa Bukit Penai masing-masing 1,5 ha per KK dengan total 206 Kk atau 371,5 hektar beserta lahan kas desa seluas 62,5 hektar. Sedangkan sisanya boleh digarap pihak perusahaan. Akan tetapi tuntutan itu tidak dipenuhi sampai batas waktu yang diminta yakni 16 Oktober 2021.
“Kami terpaksa harus mengambil alih keseluruhan lahan seluas 537,5 hektar. Dari luas areal itu meliputi tanah kas desa 22,5 hektar, fasilitas umum 10 hektar, pusat desa 10 hektar, lahan kembala 20 hektar dan lahan pencadangan 475 hektar,” papar Eko seraya menyebutkan perjanjian pengelolaan lahan dianggap sudah selesai sejak tahun 2020 akibat kesepakatan antara pihak perusahaan dengan warga tidak sesuai perjanjian.
Proses pengambilalihan lahan diawali dengan penutupan akses masuk lokasi dan penyegelan pada tanggal 16 dan 17 Oktober 2021. Sempat terjadi komunikasi dengan pihak perusahaan yang mengutus Landes B Sibarani, selaku Pjs EM KSE. Ia datang menemui Kepala Desa Bukit Penai dan warga yang sudah berkumpul di Balai Desa.
Landes menjelaskan saat pertemuan itu bahwa pihak perusahaan berdalih telah sesuai dalam menggarap lahan karena ada penyerahan lahan disertai pembagian pola inti plasma. Selain itu, sudah memasukkan listrik sesuai permintaan warga.
Klaim Landes itu langsung dibalas masyarakat dengan meminta bukti lahan tersebut apakah memiliki izin atau Hak Guna Usaha (HGU).
“Kenyataannya pihak perusahaan tidak mampu membuktikan tantangan masyarakat itu. Khusus pemasangan listrik sesungguhnya itu kewajiban perusahaan karena ada keharusan menerapkan CSR,” tambah Ibnu Samudra, Warga SP 5 Dusun Cemaka Sari Desa Bukit Penai.
Ibnu menjelaskan dirinya bersama seluruh warga Desa Bukit Penai merasa telah dibohongi berkali-kali dan setiap perjanjian selalu diingkari, padahal sudah dituangkan dalam perjanjian tertulis.
“Nantinya malah akan kami hitung jumlah kerugian warga keseluruhan dan akan meminta ganti rugi,” tegas Ibnu.
Untuk mengurangi resiko kerugian yang dialami warga tersebut, warga beramai-ramai melakukan panen buah sawit pada 28 Oktober 2021. Panen ini diketahui oleh pihak perusahaan karena dibertahukan sebelumnya saat kedatangan Landes ke Desa Bukit Penai.
Terkait hal ini, Praktisi Hukum Deni Amiruddin SH MHum diwawancara wartawan menjelaskan panen yang dilakukan warga di lahan yang dikuasai PT RAP itu tidak apa-apa, karena itu hak mereka. Apalagi jika perjanjian tidak dipenuhi perusahaan.
“Bahkan disitu ada unsur dugaan penipuan dan atau penggelapan sesuai pasal 378 dan 374 KUHP. Ada hak masyarakat yang diambil dan tidak ada ganti rugi berupa apapun,” ujar Deni.
Deni yang juga akademisi Universitas Muhammadiyah Pontianak ini menjelaskan banyak kasus serupa terjadi di Kalbar dimana Sertifikat Hak Milik (SHM) milik warga diambil yang kemudian terbit HGU. Tentu saja masyarakat akan rugi karena itu sama saja menjual lahan.
“Bersyukur jika tidak terbit HGU-nya dan masyarakat masih bisa selamat. Ini yang tidak diketahui masyarakat kita. Harus hati-hati, jangan begitu saja menyerahkan lahan karena dampaknya kepada anak cucu nanti,” kata Deni.
Perusahaan sawit saat ini kembali menjadi sorotan, menyusul bencana banjir yang terjadi di wilayah bagian timur Kalimantan Barat meliputi Kapuas Hulu, Sintang, Sekadau, dan Melawi. Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji sudah memanggil 20 perusahaan sawit dengan harapan perusahaan tersebut membantu warga yang terdampak banjir.
Alih-alih membantu, sebanyak 20 perusahaan itu justru tidak memenuhi permintaan Sutarmidji dengan berbagai alasan.
“Kemarin saya undang 20-an perusahaan perkebunan sawit untuk membantu saudara kita yang terdampak banjir, tapi mereka enak aja jawab; perusahaan mereka tidak di lokasi banjir, harus minta persetujuan atasan dan lain lain. Kesal saya, ya saya usir aja,” kata Sutarmidji dalam keterangan tertulis di Facebook pribadinya, Rabu (10/11).
Menurut Sutarmidji, puluhan perusahaan itu tidak mempunyai nurani dan tanggung jawab. Padahal, bencana hidrologi yang terjadi di Kalbar kemungkinan disebabkan oleh aktivitas perkebunan sawit.
“Mereka ini tidak punya hati, sangat kurang peduli dengan masyarakat yang menderita mungkin akibat ulah mereka,” ujarnya.
Pewarta : R Rido Ibnu Syahrie