FOTO : ilustrasi dua orang Gen Z sedang menikmati kopi di salah satu cafe [ AI, foto hanya pemanis tulisan ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satu Pena Kalimantan Barat ]
TULISAN ketiga saya soal runtuhnya rezim di Nepal oleh Gen Z. Sebelum demo berdarah itu, viral istilah Nepo Kids.
Ramai bertanya, “Ape bende tu, Bang?” tanya budak Pontianak sambil seruput kopi tanpa gula.
Istilah Nepo Kids kini sedang membakar emosi rakyat Nepal. Nepo Kids adalah singkatan sarkastis dari nepotism kids.
Maksudnya, anak-anak pejabat yang hidupnya penuh privilese dan fasilitas negara. Tetapi, pamer gaya hidup mewah di media sosial.
Mereka adalah generasi emas yang tidak pernah tahu rasanya lapar, tidak pernah mengerti arti antre beras murah, dan tidak pernah mengerti bagaimana pedihnya rakyat kecil yang setiap hari harus menimbang, beli beras atau bayar listrik.
Di Nepal, istilah ini menjadi pemicu revolusi jalanan. Rakyat sudah muak melihat anak pejabat nongkrong di restoran mewah. Mereka berpose di samping mobil sport, atau memamerkan jam tangan seharga gaji seumur hidup rakyat desa.
Padahal, negeri itu masih termasuk salah satu negara termiskin di Asia Selatan. Kesenjangan yang terlampau jauh antara realita rakyat dan glamornya para Nepo Kids membuat rakyat meledak. Demonstrasi pun berubah jadi tragedi, 22 orang tewas, lebih dari 100 luka-luka, dan gedung parlemen dibakar.
Tetapi mari jujur, apakah kita di negeri ini kebal dari sindrom Nepo Kids? Ah, justru di sinilah panggungnya. Anak-anak pejabat kita hidup dalam dunia paralel. Dunia di mana jalan menuju kekuasaan tidak pernah macet.
Mereka dilahirkan dengan karpet merah, langsung diarahkan ke kursi politik. Usia 25 tahun sudah jadi anggota DPR, usia 30 tahun sudah jadi ketua partai. Sementara rakyat biasa di usia segitu masih sibuk mengantre CPNS, melamar kerja, atau jualan online sekadar bertahan hidup.
Bedanya, di Nepal rakyat marah dan membakar gedung. Di negeri ini, rakyat justru bertepuk tangan sambil berkata, “Wih, keren banget anak muda bisa jadi wakil rakyat.” Padahal semua tahu, keren bukan karena prestasi, tapi karena marga keluarga. Inilah ironi demokrasi, jabatan politik diwariskan seperti perusahaan keluarga.
Nepo Kids tidak pernah tahu arti kesedihan rakyat. Mereka bicara soal inflasi di podium megah, padahal tidak pernah belanja sendiri di pasar. Mereka membuat janji soal “ekonomi rakyat,” padahal satu-satunya ekonomi yang mereka kenal adalah laporan saldo trust fund dari orang tua.
Mereka berbicara soal “perjuangan generasi muda,” padahal perjuangan paling keras yang mereka lakukan hanyalah memilih outfit mana yang cocok untuk konferensi pers.
Apakah ini salah anak-anaknya? Sebagian mungkin tidak. Tetapi salah sistem yang membiarkan kekuasaan jadi warisan. Salah kita semua yang diam, menikmati sinetron dinasti politik yang tayang setiap lima tahun. Semakin lama kita menonton, semakin tebal rasa muak itu.
Nepal memberi pelajaran besar. Rakyat yang lapar keadilan tidak akan selamanya diam. Kesenjangan yang dipelihara, privilese yang dipamerkan, dan kekuasaan yang diwariskan pada akhirnya hanya menyulut api.
Karena rakyat sederhana hanya ingin hidup layak, makan cukup, dan tidak harus setiap hari dihina dengan pameran mewah anak pejabat.
Mungkin tragedi di Nepal adalah alarm bagi kita. Kalau kita terus membiarkan Nepo Kids menguasai panggung, jangan kaget bila suatu hari rakyat di sini pun memilih membakar panggung itu.
Demokrasi bukanlah warisan keluarga. Demokrasi adalah rumah semua orang. Bila rumah itu terus dijadikan pesta pribadi anak pejabat, bersiaplah, rakyat suatu saat bisa memilih jadi tamu tak diundang yang merusak pestanya.
“Bang, itukan anak-anak pejabat di Nepal. Kalau di sini sepertinya tidak ada.”
“Benar, itu di Nepal. Di sini mah, anak-anak pejabat rata-rata anak soleh dan sholehah.”
#camanewak