Oleh : Rosadi Jamani [Ketua Satupena Kalimantan Barat]
PAGI TADI, kopi menguap hangat. Ditemani wartawan dari berbagai generasi. Dari Tribun, Pontianak Post, Antara, sampai dua mantan wartawan senior yang mungkin sekarang sudah lebih sering jadi “pembicara warung kopi” ketimbang reporter.
Pisang goreng Winny, konon bisa bikin mulut lupa berhenti mengunyah, berjejer di meja. Percakapan berjalan ringan, sekaligus nostalgia liputan. Sampai salah satu wartawan mengeluarkan kartu as, bukti laporan ke Bawaslu Kalbar.
Mata saya langsung melotot seolah melihat hantu di siang bolong. Isinya? Seorang kepala dinas aktif dilaporkan karena melakukan kampanye terselubung untuk salah satu kandidat gubernur.
Terlalu cerdas atau terlalu ceroboh? Kita serahkan kepada penonton.
Tentu, laporan ini sudah dibumbui dengan argumentasi hukum yang berliku. Seperti jalan menuju kebun durian. Kepala dinas ini diduga melakukan “aksi politis di balik layar” di sekolah, pada masa kampanye pula.
Seorang PNS lagi. Ini adalah paket lengkap yang hanya bisa disaingi oleh kombinasi makan sampedas ikan senangin dengan sambal belacan. Sekali gigit, sensasi datang dari segala arah. Mertua lewat pun tak nampak.
Nah, sekarang tinggal Bawaslu Kalbar yang jadi bintang utamanya. Bagaimana mereka akan menyikapi laporan ini? Apakah prosesnya akan berjalan kilat seperti ketangkap mencuri sendal di masjid? Atau justru, bak sinetron panjang, diulur-ulur hingga akhirnya kita lupa siapa pelakunya dan apa masalahnya.
Di sinilah, saudara-saudara sekalian, kredibilitas Bawaslu diuji.
Tapi, mari kita realistis sejenak. Kepala dinas ini bukan sembarangan orang. Ini bukan sekadar pemuda tanggung yang ketangkap nongkrong di warkop waktu jam sekolah.
Ini petinggi yang, dalam politik Kalbar, posisinya lebih solid dari pada gorengan di minyak panas. Ente tidak bisa sembarangan “menggorengnya”. Salah-salah, minyak malah muncrat ke muka Bawaslu sendiri.
Apakah Bawaslu punya cukup nyali untuk menjatuhkan hukuman? Atau mereka akan menyodorkan surat peringatan manis sambil berkata, “Ya sudahlah, next time jangan begini ya, Bu Kadis.” Sebuah plot twist yang sama menariknya dengan ending film yang sudah kita tebak sejak awal.
Namun, satu hal yang pasti, di dunia politik, kampanye terselubung ini ibarat sirkus di belakang panggung. Semua orang tahu tapi pura-pura tak melihat. Yang jelas, sambil menunggu drama ini terungkap, kopi tetap harus diminum, pisang goreng tetap harus dimakan.
Panton lok wak
Kopi hangat pisang tersaji,
Wartawan sibuk bahas laporan.
Kampanye terselubung pun jadi saksi,
Apakah Bawaslu berani beraturan?
Kepala dinas di depan mata,
Diam-diam dukung calon kuat.
Kalau Bawaslu hanya berkata,
Integritasnya bisa tersirat penat.
#camanewak