Jakarta, radar-kalbar.com – Kemenko Bidang Kemaritiman, Kementerian Luar Negeri, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Pusat Hidrografi dan Oseanografis TNI AL, untuk kedua kalinya secara bersama-sama kembali menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Delimitasi Batas Maritim di Jakarta, Selasa (8-10-2019).
Kegiatan FGD ini sebelumnya juga dilaksanakan di Jakarta pada Bulan November Tahun 2018.
“Banyak perjanjian batas maritim dengan negara tetangga yang belum selesai dan memakan waktu lama, oleh karena itu kita perlu meneruskan tongkat estafet dengan melatih calon-calon negosiator muda,” ujar Plt Sesmenko Agung Kuswandono saat membuka FGD Delimitasi Batas Maritim.
Selain itu, dalam sambutan pembukaannya, Agung Kuswandono yang juga menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa, menyampaikan bahwa penyelesaian penetapan batas maritim untuk berbagai segmen bukan sebuah hal yang mudah sehingga terkadang membutuhkan waktu yang lama. “Karena perjanjian batas maritim sangat penting dan kompleks tidak hanya dari sisi keamanan, ekonomi, politik maupun lingkungan, pemerintah perlu untuk mendiseminasikan tentang hal ini kepada masyarakat,” kata dia tentang tujuan lain dari penyelenggaraan FGD Delimitasi Batas Maritim.
Plt Sesmenko Agung Kuswandono berharap agar FGD Delimitasi Batas Maritim ini tidak hanya mampu melatih calon negosiator muda secara secara praktis maupun teoretis namun juga dapat merumuskan perencanaan makro dalam perundingan batas maritim. “Di lapangan sering terjadi friksi karena masih banyaknya perjanjian batas maritim yang belum dibakukan sehingga kita perlu mencari solusi untuk menyelesaikan perjanjian-perjanjian batas tersebut yang tidak dapat dilakukan secara _business as usual_ ,” pungkasnya.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia berbatasan dengan 10 negara tetangga. Sampai dengan saat ini, Pemerintah Indonesia telah menyelesaikan 18 Perjanjian batas maritim untuk laut wilayah maupun perairan. 13 dari 18 perjanjian tersebut dihasilkan pada masa sebelum disepakatinya UNCLOS ( _United Nations Convention on the Law of the Sea_ ) 1982.
Namun demikian, Indonesia masih memiliki Pekerjaan Rumah (PR) besar. Indonesia harus menyelesaikan berbagai segmen batas maritim dengan negara tetangga, di antaranya adalah batas laut wilayah dengan Malaysia, Singapura dan Timor Leste; batas zona ekonomi eksklusif dengan India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Palau dan Timor Leste. Indonesia juga masih harus menyelesaikan batas landas kontinen dengan Filipina, Palau, dan Timor Leste. Selain itu, Indonesia juga sedang mengkaji dilakukannya proses peninjauan kembali atas perjanjian batas maritim Indonesia dan Australia yang telah ditandatangani pada 1997, namun sampai dengan saat ini belum diratifikasi dan diberlakukan oleh kedua negara.
yurisdiksi lainnya.
Dalam FGD Delimitasi Batas Maritim juga dihadirkan Duta Besar Prof. Eddy Pratomo sebagai pembicara utama. Didalam paparannya, dia menyampaikan bahwa penetapan batas maritim Indonesia sangat krusial untuk menjaga kedaulatan negara.
Tetapi, Mantan Dirjen HPI Kemlu tersebut menyampaikan bahwa penetapan batas maritim memiliki kompleksitas tersendiri, bukan hanya karena fakta geografis Indonesia yang berbatasan dengan 10 negara, namun juga karena status hukum Indonesia sebagai negara kepulauan.
“Perbedaan prinsip antara status Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara tetangga yang merupakan negara kontinen, seringkali menjadi isu perdebatan utama dalam mengaplikasikan berbagai metode penarikan garis batas, sehingga seringkali menyebabkan perundingan berjalan dalam waktu yang lama,” jelas Dubes Eddy Pratomo yang merupakan mantan Utusan Khusus Presiden Bidang Perundingan Batas Maritim RI-Malaysia.
Lebih lanjut, merujuk kepada panjangnya proses perundingan, dia menggaris-bawahi pentingnya pemerintah melalui Kemenko Bidang Kemaritiman maupun Kementerian Luar Negeri untuk menyelenggarakan pelatihan khusus terkait delimitasi batas maritim. “Program khusus ini diharapkan dapat melahirkan para negosiator dalam tim perunding Indonesia yang berkelanjutan,” saran Dubes Eddy.
Tak hanya diperlukan ahli Hukum Laut, menurut dia, tim perunding Indonesia harus memiliki latar belakang ilmu yang bervariasi sesuai kebutuhan. “Dalam proses perundingan penetapan batas maritim terjadi sebuah proses diskusi menggabungkan berbagai bidang keilmuan yang berbeda, seperti bidang hukum, politik, ilmu kebumian, ekonomi, sumber daya alam, geospasial, yang tentunya semua hal tersebut perlu diramu oleh tim perunding menjadi sebuah posisi yang diharapkan dapat menjadi sebuah garis yang dapat diterima oleh para pihak terkait, dan hal tersebut tidak lah mudah,” tegas Dubes Eddy.
FGD Delimitasi Batas Maritim menghadirkan beberapa pembicara di sesi panel. Direktur Hukum dan Perjanjian Kewilayahan Kemlu
Bebeb A.K.N Djundjunan menyampaikan materi terkait Kasus-Kasus Delimitasi Batas Maritim di Lembaga Peradilan Internasional. Lalu, Made Andi Arsana, Ph.D, memberikan panduan dan cara mudah memahami Aspek Teknis dalam menentukan Delimitasi Batas Maritim Internasional.
Sedangkan pada Sesi Panel kedua Prof Sobar Sutisna memberikan pandangan dan pengalamannya selama dia melakukan negosiasi Batas Maritim dengan negara-negara tetangga, mulai dari teknik hingga seluk beluk diplomasi yang beliau alami. Pada Sesi terakhir Asisten Deputi Delimitasi Zona Maritim Ayodhia G. L Kalake menyampaikan mengenai sejarah perjalanan kewilayahan Indonesia serta proses Updating Nama Laut dan Verifikasi Pulau yang sedang gencar dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
FGD kali ini secara khusus di desain sedemikian rupa agar para peserta, yang berasal dari Kementerian/Lembaga, Akademisi dan Jurnalis, tidak hanya mendengarkan pemaparan dari para pakar dan narasumber, namun juga diberi kesempatan untuk dapat merasakan sebuah skenario perundingan. Diharapkan dari adanya proses yang berjalan, seluruh peserta dapat memahami secara utuh implementasi berbagai keilmuan di dalam sebuah perundingan batas maritim.
Sumber : Biro Perencanaan dan Informasi, Kemenko Bidang Kemaritiman.