FOTO : Ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
PURBAYA, awalnya diremehkan. Maklum yang diganti itu Sri Mulyani, Menkeu Terbaik. Tak butuh lama, Purbaya semakin menarik simpati publik, nama Jeng Sri pun semakin tergeser.
Terbaru, Luhut, menteri serba bisa di eranya mulai terusik oleh keberanian menteri yang dijuluki koboi itu. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Di republik yang penuh seminar, spanduk, dan kalimat manis pejabat, tiba-tiba muncul satu manusia yang berbicara seperti meteor jatuh di atas meja birokrasi.
Namanya, Purbaya Yudhi Sadewa. Di tengah perayaan ulang tahun MNC Trijaya FM, 26 September 2025, ia melontarkan kalimat yang membuat banyak politisi tersedak teh manis. “Saya hanya bertanggung jawab ke RI-1, yang lainnya saya nggak peduli.”
Dunia politik langsung gemetar kecil. Ada yang menuduhnya arogan, ada yang menyebutnya jujur, ada pula yang bilang dia sedang melamar jabatan jangka panjang dengan gaya pendekar keuangan. Tapi apapun tafsirnya, kalimat itu terdengar seperti puisi keberanian di zaman pejabat takut pada komentar netizen.
Purbaya bukan sedang bercanda. Ia bicara dalam nada datar khas akuntan, tapi dengan isi seperti ledakan nuklir fiskal. Kalimat itu menunjukkan loyalitas vertikal yang total, tidak peduli siapa marah, tidak peduli siapa tersinggung, yang penting Presiden Prabowo tahu semua langkahnya.
Dalam logika birokrasi yang gemuk, ucapan itu seperti tamparan pada wajah kemunafikan, banyak pejabat bicara soal “rakyat,” tapi diam-diam hanya cari restu pada kekuasaan.
Sementara Purbaya terang-terangan bilang, “Ya, saya memang tunduk pada kekuasaan, tapi yang sah, bukan yang berisik.” Ironinya, dari kejujuran semacam ini, justru publik mulai suka. Di tengah lautan basa-basi, keberanian menjadi hiburan tersendiri.
Lalu datanglah Luhut Binsar Pandjaitan, veteran segala rezim, menegur dengan sopan soal program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia berkata, serapan anggaran MBG sudah membaik dan sebaiknya jangan dipotong.
Seolah ayah memberi nasihat ke anak. “Jangan terlalu hemat, Nak, kasihan rakyat yang lapar.” Tapi Purbaya menjawab dengan ketenangan seorang biksu fiskal. “Kita lihat nanti sampai akhir Oktober. Kalau serapan masih rendah, ya kita potong juga.” (Finance.detik.com, 6 Oktober 2025). Kalimat yang seperti pedang samurai menebas ilusi efisiensi. Tak ada basa-basi, tak ada puisi politik. Hanya data, waktu, dan keputusan.
Purbaya bukan melawan Luhut. Ia melawan ketidakefisienan. Ia tahu, uang negara bukan mainan empati, tapi energi yang harus dijaga. Kalau serapan lambat, berarti mesin birokrasi macet, dan tak ada salahnya mencabut kabel dari alat yang tak bekerja. Ia lebih takut pada defisit daripada pada marahnya sesama menteri.
Itulah bentuk cinta paling keras kepada republik, memotong demi menyelamatkan. Dalam dunia penuh “izin, arahan, dan koordinasi,” ia tampil seperti orang aneh yang justru bekerja.
Sebagian orang menyebut ucapannya itu tidak etis, karena pejabat publik harus bertanggung jawab ke DPR, ke rakyat, ke lembaga pengawas. Tapi mungkin Purbaya hanya sedang menyederhanakan semesta, terlalu banyak atasan membuat kepala berasap, maka cukup satu saja, asal yang benar-benar memegang kendali.
Jujur saja, dibanding pejabat yang pura-pura dengar suara rakyat tapi diam-diam dengar suara tender, Purbaya jauh lebih segar.
Ia tak sedang mencari popularitas, tapi kejujuran tanpa lapisan gula. Rakyat mungkin awalnya bingung, tapi lama-lama paham, di balik kalimat “saya nggak peduli,” ada makna “saya nggak bisa dibeli.” Di balik ancaman pemotongan anggaran, ada logika disiplin.
Di balik kesan keras, ada niat menjaga uang publik agar tak jadi makanan tikus proyek. Maka, biarlah sebagian pejabat berlomba menebar senyum, sementara Purbaya tetap dingin, menatap angka dengan ekspresi Socrates yang baru pulang dari Kemenkeu.
Dalam republik yang terbiasa menunda, keberanian macam ini justru terasa seperti oksigen, segar, getir, tapi menyembuhkan.
#camanewak