FOTO : Gedung MPR/DPR RI [ ist ]
KALAU Ormas atau preman ngancam, bisa dianggap angin lalu. Ibarat, anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Lah, ini yang ngancam para pensiunan jenderal. Siapa yang diancam? Lembaga tertinggi negara, tukang lantik dan berhentikan presiden dan wakil presiden, MPR.
Ngeri, wak! Siapkan kopinya, kita akan kupas ancaman serius para jenderal yang sudah malang melintang di negeri ini.
Jakarta, 3 Juli 2025. Dunia seakan terhenti. Bumi Indonesia bergetar bukan karena gempa, bukan pula karena letusan Gunung Rinjani, tapi karena suara menggelegar dari ruang pertemuan Hotel Arion Suites, Kemang.
“Kalau tak ditanggapi, kita duduki MPR!” seru Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, mantan Kepala Staf Angkatan Laut yang kini menjelma menjadi orator revolusi.
Detik itu juga, udara dalam ruangan berubah. Para awak media membeku. Para tamu hotel yang sebelumnya sedang antre bubur ayam tiba-tiba merasa seperti sedang menyaksikan deklarasi perang.
Forum Purnawirawan TNI, organisasi paling senior jenderal, mengeluarkan ultimatum. “Jika pemakzulan Gibran Rakabuming Raka tak kunjung diproses, kami akan menggelar aksi terbesar sejak pensiunnya sejarah.” Wow, seruput kopi lagi wak agar otak tetap encer dan waras.
Gibran, Wakil Presiden, anak sulung Jokowi, cucu politik dinasti Solo Raya, dan kini simbol dari apa yang disebut para purnawirawan sebagai “demokrasi yang dipaksa melalui jalur keluarga”menjadi sasaran kritik tajam.
Bukan karena ia suka makan seblak atau main TikTok, tapi karena ia dianggap buah dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang dicangkok oleh pamannya sendiri, Anwar Usman.
“Ini soal keadilan elektoral, bukan soal dendam,” tegas Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, matanya berkaca-kaca, seolah baru saja mengenang saat-saat heroik mengawal udara nusantara.
Ia tidak main-main. “Kami bukan purnawirawan biasa. Kami adalah sisa-sisa baja yang belum berkarat.” Suasana seketika berubah menjadi seperti film perang, minus granat dan plus mic wireless.
Sudah sejak 26 Mei 2025, surat resmi usulan pemakzulan dikirim ke DPR dan MPR. Ditandatangani oleh jenderal-jenderal besar yang kini lebih sering rapat di ballroom hotel ketimbang ruang komando.
Tapi seperti surat cinta yang tak pernah sampai ke gebetan, dokumen ini nyangkut entah di mana. Ketua DPR Puan Maharani bilang belum terima.
Ketua MPR Muzani bahkan mengaku “belum masuk kantor” saat itu. Apakah surat itu sedang disandera printer? Atau disisipkan di balik kalender meja?
Padahal dasar hukumnya jelas, Pasal 7A UUD 1945. Pemakzulan bisa dilakukan bila Wakil Presiden terbukti mengkhianati negara, korupsi, suap, atau melakukan kejahatan besar.
Tapi bagi Forum Purnawirawan, kejahatan terbesar adalah dipilih lewat mekanisme yang tak adil dan tak tahu malu. Ini bukan soal hukum lagi.
Ini soal moral negara. Soal harga diri bangsa. Soal… rasa kesal yang menumpuk sejak pensiun tanpa jabatan komisaris.
Sementara fraksi-fraksi di DPR sibuk melempar kalimat normatif. Golkar bilang “Gibran sah.” PKS bilang “kita lihat nanti.” PDIP mengangguk-angguk sambil menghindar dari kamera. Sisanya? Mungkin sedang sibuk bikin konten untuk media sosial.
Tapi Forum tidak main-main. Mereka tidak akan diam. Mereka siap duduki MPR, gedung keramat tempat sumpah jabatan diucap, dan menurut mereka, kini telah menjadi showroom elit politik dinasti. “Politik kami adalah politik kenegaraan, bukan kekuasaan,” tegas mereka.
Apakah mereka akan benar-benar menyerbu Senayan? Apakah kita akan menyaksikan kembalinya para jenderal ke panggung utama, bukan dengan tank, tapi dengan tongkat komando nostalgia?
Tentu, ada aksi akan ada reaksi. Para pendukung Gibran dan Jokowi pasti tidak membiarkan upaya pemakzulan terjadi. Mereka pasti akan melakukan counter attack. Seperti apa serangan baliknya, kita belum tahu.
Pastinya suhu politik akan kembali panas. Walaupun panas, otak akan selalu dingin bila tetap seruput kopi tanpa gula.
#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]