SETIAP kali saya menulis topik apa pun, selalu ada netizen menyebut saya Ternak Mulyono. Kadang ada juga menyebut, Anak Abah. Apa pun isunya, dua nama itu paling sering disebut.
Apa sebenarnya di balik dua nama itu? Sambil seruput kopi liberika, mari kita dalami, wak.
Nama Mulyono. Nama ini selalu dihubungkan dengan mantan Presiden Joko Widodo. Nama itu sekarang jadi brand. Kalau ada startup, mungkin “Mulyono Corp.” sudah IPO sejak 2019. Saking populernya, nama ini bisa menyembuhkan sariawan dan mengundang banjir opini.
Dulu orang panggil Pak Jokowi dengan penuh hormat. Sekarang? “Woy, Mulyono, benerin jalan dong!” Atau, “Waduh, Mulyono lagi, Mulyono lagi.” Padahal beliau mungkin lagi nyiram bonsai di Solo, tidak tahu menahu kenapa tiba-tiba namanya jadi trending bareng K-pop.
Tapi begitulah nasib seorang tokoh besar di negeri penuh narasi tapi miskin logika. Mau bikin tol? Mulyono. Mau kasih BLT? Mulyono. Mau nyalonin anak? Tentu saja, Mulyono! Mau Indonesia pindah ke Mars? Pasti usulan Mulyono.
Dia seperti Thanos dalam Avengers, cukup jentik jari dan seluruh UU berubah, semua partai tiarap, dan netizen terbagi dua, “Mulyono best!” versus “Mulyono out!”
Di sisi seberang ring tinju maya, berdirilah Anies Baswedan, atau kalau kamu Anak Twitter garis keras, cukup panggil saja dia, Abah. Seorang lelaki tampan (kata emak-emak), saleh (kata pengajian ibu-ibu), cerdas (kata dirinya sendiri), dan penuh dengan perumpamaan hidup yang lebih rumit dari soal SBMPTN.
Anies ini bukan cuma mantan gubernur. Dia adalah fenomena linguistik. Satu kalimatnya bisa jadi bahan analisis linguistik S3. Satu pidatonya bisa membuat rakyat antara tercerahkan atau tertidur lelap penuh mimpi tentang keadilan sosial.
Lalu, pengikutnya? Jangan macam-macam. Mereka bukan sekadar pemilih. Mereka adalah Anak Abah, sebuah kasta spiritual-politik yang menganggap kritik terhadap Anies setara dengan menghina orang suci. Mau bilang kebijakannya absurd? Hati-hati, bisa langsung dikirimi flyer digital berisi prestasi fiktif dan tuduhan ente bagian dari “ternak sebelah.”
Sementara rakyat biasa masih berjuang menambal atap rumah dengan spanduk caleg gagal, para buzzer dua kubu ini berperang dengan intensitas seperti Perang Dunia ke-69. Mereka bertarung di medan perang bernama X, dengan senjata utama: reply toxic, meme murahan, dan thread panjang yang sebenarnya tidak dibaca siapa-siapa kecuali sesama buzzer.
Kadang satu postingan politik bisa memicu keributan seperti barista salah tulis nama di gelas kopi.
Semua orang harus memilih kubu. Netral itu haram. Kalau ente tidak puja Mulyono, pasti kamu Anak Abah. Kalau kamu tidak sujud pada Abah, pasti kamu ternak Mulyono. Tidak ada tempat bagi kaum rasional. Bahkan malaikat pencatat amal bingung, ini orang debat soal moralitas, tapi pakai kata-kata kebun binatang.
Yang paling lucu, Jokowi dan Anies, dua tokoh agung yang jadi pemicu segala keributan itu, mungkin malah sudah move on. Jokowi sedang main kuda-kudaan dengan Jan Ethes Srinarendra. Sementara Anies mungkin sedang membaca buku tebal di cafe sambil menyesap kopi tanpa gula.
Mereka tidak perlu balas komentar. Mereka tidak perlu perang buzzer. Mereka tinggal duduk manis, karena rakyat sudah saling cakar atas nama mereka.
Ini bukan lagi demokrasi. Ini teater. Ini reality show tak berkesudahan. Machiavelli kalau hidup hari ini mungkin akan pensiun dari politik dan jadi buzzer karena lebih menguntungkan. Ia akan berkata, “Lupakan cinta, lupakan takut. Ciptakan fandom!” Dan voila, lahirlah dua agama baru, Pemuja Mulyono dan Jamaah Anak Abah.
Sementara kita? Masih adan yang sibuk debat di Tiktok dan FB pakai akun anonim sampai lupa ada yang bening lewat. Sampai ada yang lupa waktu sudah senja.
#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalbar ]