Radar KalbarRadar Kalbar
  • Home
  • Indeks
  • Kalbar
  • Nasional
  • Peristiwa
  • Politik
  • Ragam
  • Lainnya
    • Hukum
    • Olah Raga
    • Gaya Hidup
    • Bisnis
    • Figur
    • Tekno
    • Entertainment
Radar KalbarRadar Kalbar
  • Kapuas Hulu
  • Kayong Utara
  • Ketapang
  • Kubu Raya
  • Landak
  • Melawi
  • Mempawah
  • Pontianak
  • Sambas
  • Sanggau
  • Sekadau
  • Singkawang
  • Sintang
Pencarian
  • Home
  • Indeks
  • Kalbar
  • Nasional
  • Peristiwa
  • Politik
  • Ragam
  • Hukum
  • Olah Raga
  • Gaya Hidup
  • Bisnis
  • Figur
  • Tekno
  • Entertainment
Radar Kalbar > Indeks > Opini > 3 Meninggal, 26 Masih Dirawat, 70 Sudah Dipulangkan
Opini

3 Meninggal, 26 Masih Dirawat, 70 Sudah Dipulangkan

Last updated: 7 jam lalu
21 jam lalu
Opini
Share

FOTO : Ilustrasi penyelamatan korban karena reruntuhan bangunan [ Ai ]

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

DUKA masih menyelimuti Ponpes Khoziny. Beton segede gaban itu telah merenggut tiga nyawa, 26 masih dirawat, 72 sudah dipulangkan.

Mari kita ungkap tragedi ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Sidoarjo menangis. Sebuah musala di Pondok Pesantren Al-Khoziny yang semestinya menjadi ruang doa dan teduh, runtuh seketika seperti kertas yang disobek angin.

Dari balik reruntuhan itu, terdengar jeritan santri, lirih, parau, penuh debu dan darah. Mereka memanggil nama ibu, bapak, Tuhan, siapa saja yang sudi mendengar. Beton dan besi menindih tubuh mungil yang masih menyimpan hafalan surah pendek.

Sebanyak 102 santri berhasil dievakuasi. Dari jumlah itu, 3 nyawa meregang. Nama mereka kini terpatri di dinding duka: Ahmad Maulana Alfian Ibrahim, 13 tahun, bocah dari Bongkaran, Surabaya; Mochammad Mashudulhaq, 14 tahun, dari Dukuh Pakis; dan Muhammad Soleh, 22 tahun, santri perantauan dari Tanjung Pandan, Bangka Belitung.

Tiga nama yang semestinya masih menulis masa depan di papan tulis, kini justru ditulis di papan nisan.

Di ruang duka, keluarga hanya bisa menatap tubuh yang kaku. Seorang ayah berdiri terpaku, matanya kosong. Ia teringat pagi saat mengantar anaknya ke pesantren, sambil berpesan, “Belajar yang rajin, Nak.” Kini pesan itu tak berbalas, kecuali dengan kafan putih yang dingin.

Seorang ibu meraung di sudut, suaranya melengking memecah udara, seakan menagih janji Tuhan agar anaknya dikembalikan. Tapi anak itu sudah terbungkus, sudah kembali ke tanah. Apa yang lebih kejam daripada menitipkan anak pada ilmu lalu menerima pulangannya dalam kematian?

70 santri telah dipulangkan dari rumah sakit, namun 26 lainnya masih dirawat, beberapa dengan luka berat. Di RSUD Notopuro, seorang santri harus diamputasi di lokasi kejadian, tangannya terjepit besi yang tak kenal belas kasih.

Bayangkan, wak! Seorang remaja yang semalam masih menulis huruf Arab di buku tulis, kini harus menulis takdir dengan sisa satu tangan. Apa arti doa “Ya Allah, selamatkanlah” jika jawaban-Nya adalah amputasi?

Di RSI Siti Hajar, 52 santri pernah ditangani. Sepuluh masih terbaring dengan infus menusuk kulit, matanya kosong menatap langit-langit rumah sakit, telinganya masih mendengar dentuman robohnya musala.

Dokter dan perawat berlari-lari, tapi siapa bisa mengobati trauma yang akan menghantui seumur hidup?

Pemerintah berjanji, biaya ditanggung. Gratis! Kata yang seolah bisa menambal hati keluarga yang retak. Biaya rawat inap, obat, operasi, semua dicover. Tapi siapa yang akan menanggung biaya air mata yang tak berhenti jatuh? Siapa yang akan membayar harga sebuah pelukan terakhir yang tak sempat diberikan?

Pengasuh pesantren menyebutnya “takdir.” Ya, mungkin takdir. Tapi tidakkah takdir juga meminta manusia berhitung? Beton punya berat, pondasi punya batas, bangunan butuh perhitungan.

Apakah kita terlalu sibuk berdoa sampai lupa bahwa doa tanpa ikhtiar hanya menjadi kalimat kosong yang kini tertimbun puing?

Malam itu, keluarga para korban duduk di antara pelayat. Wajah-wajah pucat, mata sembab, tangan bergetar memegang foto anak-anak mereka.

Ada yang hanya bisa berbisik, “Nak, pulanglah dalam mimpi ibu.” Ada pula yang hanya diam, karena tangisan sudah habis, berganti sesak yang mengikat dada.

Tragedi ini bukan sekadar musala yang runtuh. Ia adalah runtuhnya harapan, runtuhnya masa depan, runtuhnya doa yang terhenti di udara.

Tiga santri pergi, puluhan lainnya menanggung luka, ratusan keluarga menanggung trauma. Sementara kita, pembaca berita, seharusnya menunduk dan menangis, karena di balik tiap nama yang gugur, ada kehidupan yang tak akan pernah kembali.

#camanewak

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
TAGGED:Bangunan rubuhKorbanSantri
Share This Article
Facebook Whatsapp Whatsapp Telegram Copy Link

Terpopuler Bulan Ini

KPMKB Surabaya Desak Penuntasan “Kasus” Warga Tewas Tertimpa Pohon di Proyek Jembatan Mempawah

04/09/2025
Dari Persiwah ke Sambas, Jejak Abadi Ruslan M Saleh Kini Hanya Tinggal Kenangan, Ia Telah Berpulang Dipanggil sang Khalik
09/09/2025
Selebgram Oca Fahira Meninggal Akibat Kecelakaan Lalu Lintas di Sungai Pinyuh
30/09/2025
Setahun Menghilang, Seorang Pria di Tayan, Ditemukan Tinggal Tengkorak
24/09/2025
Jalan Kabupaten Rusak, Truk CPO Bertonase Berat Jadi Sorotan Warga
18/09/2025

Berita Menarik Lainnya

Bunga “Diduga” Siswi Pertama Meninggal Karena MBG

6 jam lalu

Ribut Tetangga Komplek, Tapi Ributnya Nasional

7 jam lalu

Memaknai Kata “Brengsek” dari Prabowo untuk BUMN Rugi tapi Minta Bonus

30/09/2025

Senyum Pepsodent Ria Norsan

29/09/2025

PT. DIMAS GENTA MEDIA
Kompleks Keraton Surya Negara, Jalan Pangeran Mas, No :1, Kel Ilir Kota, Sanggau, Kalbar

0812-5012-1216

Terkait

  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi

Regional

  • Kapuas Hulu
  • Kayong Utara
  • Ketapang
  • Kubu Raya
  • Landak
  • Melawi
  • Mempawah
  • Pontianak
  • Sambas
  • Sanggau
  • Sekadau
  • Singkawang
  • Sintang
  • Kapuas Hulu
  • Kayong Utara
  • Ketapang
  • Kubu Raya
  • Landak
  • Melawi
  • Mempawah
  • Pontianak
  • Sambas
  • Sanggau
  • Sekadau
  • Singkawang
  • Sintang