FOTO : Ilustrasi penyelamatan korban karena reruntuhan bangunan [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
DUKA masih menyelimuti Ponpes Khoziny. Beton segede gaban itu telah merenggut tiga nyawa, 26 masih dirawat, 72 sudah dipulangkan.
Mari kita ungkap tragedi ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Sidoarjo menangis. Sebuah musala di Pondok Pesantren Al-Khoziny yang semestinya menjadi ruang doa dan teduh, runtuh seketika seperti kertas yang disobek angin.
Dari balik reruntuhan itu, terdengar jeritan santri, lirih, parau, penuh debu dan darah. Mereka memanggil nama ibu, bapak, Tuhan, siapa saja yang sudi mendengar. Beton dan besi menindih tubuh mungil yang masih menyimpan hafalan surah pendek.
Sebanyak 102 santri berhasil dievakuasi. Dari jumlah itu, 3 nyawa meregang. Nama mereka kini terpatri di dinding duka: Ahmad Maulana Alfian Ibrahim, 13 tahun, bocah dari Bongkaran, Surabaya; Mochammad Mashudulhaq, 14 tahun, dari Dukuh Pakis; dan Muhammad Soleh, 22 tahun, santri perantauan dari Tanjung Pandan, Bangka Belitung.
Tiga nama yang semestinya masih menulis masa depan di papan tulis, kini justru ditulis di papan nisan.
Di ruang duka, keluarga hanya bisa menatap tubuh yang kaku. Seorang ayah berdiri terpaku, matanya kosong. Ia teringat pagi saat mengantar anaknya ke pesantren, sambil berpesan, “Belajar yang rajin, Nak.” Kini pesan itu tak berbalas, kecuali dengan kafan putih yang dingin.
Seorang ibu meraung di sudut, suaranya melengking memecah udara, seakan menagih janji Tuhan agar anaknya dikembalikan. Tapi anak itu sudah terbungkus, sudah kembali ke tanah. Apa yang lebih kejam daripada menitipkan anak pada ilmu lalu menerima pulangannya dalam kematian?
70 santri telah dipulangkan dari rumah sakit, namun 26 lainnya masih dirawat, beberapa dengan luka berat. Di RSUD Notopuro, seorang santri harus diamputasi di lokasi kejadian, tangannya terjepit besi yang tak kenal belas kasih.
Bayangkan, wak! Seorang remaja yang semalam masih menulis huruf Arab di buku tulis, kini harus menulis takdir dengan sisa satu tangan. Apa arti doa “Ya Allah, selamatkanlah” jika jawaban-Nya adalah amputasi?
Di RSI Siti Hajar, 52 santri pernah ditangani. Sepuluh masih terbaring dengan infus menusuk kulit, matanya kosong menatap langit-langit rumah sakit, telinganya masih mendengar dentuman robohnya musala.
Dokter dan perawat berlari-lari, tapi siapa bisa mengobati trauma yang akan menghantui seumur hidup?
Pemerintah berjanji, biaya ditanggung. Gratis! Kata yang seolah bisa menambal hati keluarga yang retak. Biaya rawat inap, obat, operasi, semua dicover. Tapi siapa yang akan menanggung biaya air mata yang tak berhenti jatuh? Siapa yang akan membayar harga sebuah pelukan terakhir yang tak sempat diberikan?
Pengasuh pesantren menyebutnya “takdir.” Ya, mungkin takdir. Tapi tidakkah takdir juga meminta manusia berhitung? Beton punya berat, pondasi punya batas, bangunan butuh perhitungan.
Apakah kita terlalu sibuk berdoa sampai lupa bahwa doa tanpa ikhtiar hanya menjadi kalimat kosong yang kini tertimbun puing?
Malam itu, keluarga para korban duduk di antara pelayat. Wajah-wajah pucat, mata sembab, tangan bergetar memegang foto anak-anak mereka.
Ada yang hanya bisa berbisik, “Nak, pulanglah dalam mimpi ibu.” Ada pula yang hanya diam, karena tangisan sudah habis, berganti sesak yang mengikat dada.
Tragedi ini bukan sekadar musala yang runtuh. Ia adalah runtuhnya harapan, runtuhnya masa depan, runtuhnya doa yang terhenti di udara.
Tiga santri pergi, puluhan lainnya menanggung luka, ratusan keluarga menanggung trauma. Sementara kita, pembaca berita, seharusnya menunduk dan menangis, karena di balik tiap nama yang gugur, ada kehidupan yang tak akan pernah kembali.
#camanewak