FOTO :ilustrasi orang melaksanakan protes [ AI ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
SAAT di warkop, saya pesan kopi bubuk tanpa gula. Yang diantar, teh panas gelas besar.
Nyambung ndak? Kira-kira gambaran pelantikan menteri baru kemarin. Rakyat tidak minta menteri baru, tapi realisasikan 17+8. Mari kita lindas, eh salah, kupas opera politik ini sambil seruput kopi, wak!
Rakyat sudah menulis 17+8 tuntutan dengan tinta darah dan air mata. Seperti wahyu terakhir sebelum azab politik turun. Isinya sederhana, sesederhana anak TK belajar menulis huruf A: hentikan korupsi, jangan maling uang rakyat, jangan lagi bikin pesta pora di atas penderitaan wong cilik.
Tapi apa balasan istana? Bukan jawaban, bukan pengabulan, bukan pula pengertian. Yang turun dari langit justru pengumuman, Resufle Kabinet!
Rakyat minta obat sakit kepala, presiden kasih brosur perawatan kuku. Rakyat minta nasi, istana malah sajikan menu foto makanan lima bintang.
Tuntutan rakyat yang 17+8 itu isinya sebenarnya gampang:
1. Stop korupsi.
2. Stop maling.
3. Stop gratifikasi.
4. Stop mark-up.
(dan seterusnya sampai 25, intinya sama: jangan jadi kleptomania berjubah pejabat).
Namun, begitu menteri baru dilantik, tiba-tiba keluar kalimat yang bikin rakyat mendidih, “Tuntutan 17+8 itu hanya suara sebagian rakyat kecil.” Duh! Menteri ini sebenarnya nonton apa kemarin? Demo besar di jalan-jalan itu bukan arisan RT, bukan pula pesta ulang tahun.
Itu jeritan rakyat dari Sabang sampai Merauke, bukan “sebagian kecil.”
Rasanya ingin menepuk jidat pakai palu godam. Kalau tuntutan rakyat dianggap “sebagian kecil,” lantas siapa yang besar? Meja makan kekuasaan?
Lebih ironis lagi, ada aktivis plus konten kreator yang justru dilaporkan ke polisi oleh aparat. Hebat! Negeri ini punya rumus baru, kritik dipenjara, maling dihormati.
Saya pribadi menulis tiga artikel tentang resufle. Tiga! Seperti mantra politik, kalau ditulis tiga kali, mungkin keajaiban muncul. Tapi ternyata, yang bikin gaduh bukan reshuffle itu, melainkan RUU Perampasan Aset.
Rakyat menunggu pengesahan, DPR janji-janji manis, tapi sudah lima hari ultimatum berjalan, mereka adem ayem, rebahan, menonton pelantikan menteri baru. Jangan-jangan sebagian masih sibuk adu skor Mobile Legends di ruang sidang. Atau, malah ada yang nonton biru-biru macam dulu.
Padahal rakyat sedang menatap. Kamera rakyat tak pernah mati. Jangan kira bisa disamarkan dengan senyum palsu dan dasi mahal.
Mari kita luruskan sejarah. Sumber utama kerusakan negeri ini adalah korupsi.
Bukan bencana alam, bukan musuh asing, bukan pula alien jatuh di Senayan. Korupsi adalah kanker stadium akhir yang sudah menyebar ke seluruh organ negara.
Lebih tragis lagi, korupsi bukan lagi sekadar tindakan kriminal, tapi sudah menjadi filsafat hidup bangsa.
Di kampung, ada istilah: “asal dapat jatah, diamlah sudah.”
Di sekolah, diajarkan matematika: tambah (+), kurang (−), kali (×), tapi susah sekali diajarkan bagi (:). Soalnya, kalau bisa bagi, makanannya harus dibagi rata. Sedangkan di dunia nyata, yang berlaku justru makan sendiri sembunyi-sembunyi.
Di gedung DPR, sumpah jabatan bunyinya, “Demi Tuhan saya tidak akan korupsi,” tapi subjudul kecilnya berbunyi, “kecuali ada kesempatan.”
Kalau boleh jujur, korupsi ini sudah pantas diajukan ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
Bayangkan festivalnya, ada Parade Koruptor Nasional, lomba mark-up APBN, hingga fashion show rompi oranye KPK dan rompi pink jaksa.
Namun inilah komedi paling getir. Rakyat selalu marah, tapi setelah itu diam. Kita menonton sirkus resufle seperti menonton sinetron. Badut lama turun, badut baru naik.
Plot tetap sama, uang rakyat hilang, keadilan terkapar, hukum jadi tontonan.
Filsafat terakhir, negeri ini tidak kekurangan undang-undang, tidak kekurangan sumpah jabatan, tidak kekurangan naskah tuntutan. Yang hilang hanya satu, rasa malu.
Selama rasa malu itu tak kembali, 17+8 tuntutan rakyat hanya jadi catatan kaki di buku tebal sejarah.
Selamat menikmati Resufle, opera epik yang dimainkan di panggung korupsi, ditonton jutaan rakyat kecewa, dan disutradarai oleh tikus berdasi.
#camanewak