Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
LANGIT Singkawang mendung, seakan menahan napas, menunggu dentuman pertama dari tabuh gendang raksasa. Lalu, duuuummm!
Suara itu pecah, bergemuruh, menembus relung setiap jiwa yang hadir. Festival Cap Go Meh pun dimulai!
Dari sudut-sudut kelenteng yang berusia ratusan tahun, aroma dupa menguar, menyatu dengan semangat ribuan manusia yang telah berdesakan di tepi jalan. Mata mereka berbinar, menanti 736 Tatung yang akan turun ke medan.
Mereka bukan sembarang manusia. Mereka adalah perantara. Roh leluhur telah memilih mereka sebagai wadah. Hari ini, mereka bukan lagi manusia biasa.
Dari kejauhan, suara lonceng berbunyi. Derap kaki semakin dekat. Tiba-tiba, udara seperti bergetar. Tatung pertama muncul!
Lelaki itu bertelanjang dada, tubuhnya berkilat oleh minyak. Di bahunya terpancang tombak tajam, menusuk tembus, tapi darah tak menetes. Matanya kosong, napasnya tetap tenang. Langkahnya seperti bayangan harimau di puncak gunung, ringan, tapi penuh ancaman.
Di belakangnya, ratusan Tatung lain menyusul. Ada yang menggigit pedang, ada yang duduk di kursi paku, ada yang tubuhnya dililit rantai besi seakan hendak menahan amukan naga.
Matahari menyilaukan ujung-ujung pedang yang terhunus, membuat setiap orang yang menyaksikan merinding.
Dari barisan rakyat jelata yang berjubel di tepian jalan, terdengar bisik-bisik.
“Lihat itu! Tidak berdarah!”
“Bagaimana mungkin manusia bisa begitu?”
“Ini bukan manusia biasa… ini dewa yang turun ke bumi!”
Di tengah lautan manusia, seorang lelaki muda berdiri tegak. Ia berpakaian resmi, dengan senyum tipis yang khas. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah datang!
Hari ini, Singkawang tak hanya menyambut para Tatung, tapi juga seorang pemimpin negara. Langit semakin mendung, seakan hendak menyaksikan sendiri keajaiban yang akan terjadi.
Ketika Wapres Gibran mengangkat pemukul gendang, waktu seolah melambat. Semua mata tertuju padanya. Duuuummm! Sekali lagi, suara gendang membelah udara.
Saat itulah, sesuatu terjadi.
Seorang Tatung melompat tinggi ke udara! Tubuhnya berputar, tombak di tangannya berkelebat seperti kilatan petir di langit. Udara mendesir, orang-orang menahan napas. Dalam sekejap, ia mendarat dengan sempurna, seakan gravitasinya sendiri tak mengikuti hukum alam.
Sorak-sorai membahana. Singkawang telah menjadi lautan manusia. Festival ini bukan sekadar pawai. Ini bukan sekadar budaya. Ini adalah pertempuran antara dunia nyata dan dunia gaib.
736 Tatung telah turun. Roh-roh jahat yang bersembunyi di gang-gang sempit, di sudut-sudut gelap kota, pasti telah gemetar ketakutan. Hari ini, Singkawang dibersihkan!
Di bawah langit yang mulai berubah jingga, Singkawang tersenyum. Ia tahu, setahun lagi, mereka akan kembali. Tatung akan turun lagi, roh akan dibakar lagi, dan Singkawang akan kembali menjadi pusat alam semesta!
#camanewak