Janji yang Ditagih, Janji yang Ditepati


Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

SUPRIYANI. Sebuah nama yang terukir dari air mata dan doa. Ia bukan hanya seorang guru.

Ia adalah benteng bagi anak-anak yang tak tahu bagaimana menggenggam mimpi. Dua belas tahun ia mengabdi.

Kemudian, empat tahun lagi ia bertahan. Dengan gaji yang tak cukup untuk membeli beras, ia tetap tersenyum di depan papan tulis. Di balik senyum itu, ada cerita pedih yang tak terungkap.

Enam belas tahun berlalu. Tapi penghargaan itu tak kunjung datang. Lalu muncul secercah harapan. Janji dari seorang menteri, Abdul Mu’ti.

Janji yang berbunyi seperti musik indah. “Supriyani akan diangkat menjadi PPPK.” Angin harapan berembus, tapi tidak lama. Ketika pengumuman seleksi PPPK keluar, nama Supriyani tak ada di sana. Dunia seolah runtuh.

Harapan itu berubah menjadi kepingan, berserakan di hatinya yang rapuh.

Hari-harinya berubah suram. Anak-anak di sekolah melihat gurunya dengan wajah murung, tetapi Supriyani tetap berdiri. Ia tetap mengajar.

Ia tahu, hidupnya mungkin tak banyak berarti, tapi anak-anak itu, mereka berhak bermimpi.

Lalu sebuah kabar datang. Pada suatu pagi penuh gerimis, rumah Supriyani di Baito, Konawe Selatan, diketuk oleh seorang wanita dengan senyum tulus. Nunuk Suryani, Direktur Jenderal GTK PG Kemendikdasmen. Nunuk tidak datang dengan tangan kosong. Ia membawa kabar yang akan mengubah segalanya.

“Ibu Supriyani, ini kabar dari Pak Menteri,” ucap Nunuk dengan mata berkaca-kaca. “Janji itu ditepati. Ibu akan diangkat menjadi PPPK tanpa tes.”

Air mata Supriyani jatuh seketika. Bukan hanya karena ia akhirnya mendapatkan pengakuan, tetapi karena ia tahu, perjuangannya selama ini tidak sia-sia. Nunuk berbicara panjang lebar, tetapi Supriyani hanya mendengar beberapa kata.

“Tanpa tes,” itu yang terus terngiang. Dua kata yang menghapus rasa pahit selama bertahun-tahun.

Hari itu, di rumah kecil yang hampir rubuh, Supriyani menangis bahagia. Anak-anak sekolah, yang mendengar kabar ini, datang berlari. Mereka memeluk gurunya.

“Bu Guru kami lulus! Bu Guru kami lulus!” seru mereka. Suara mereka menggema, mengisi kekosongan yang selama ini ada di hati Supriyani.

Supriyani? Ia tersenyum. Ia menangis. Ia memeluk anak-anak itu satu per satu. Dunia yang selama ini terasa gelap, kini diterangi oleh cahaya yang begitu hangat.

Janji itu telah ditepati. Harapan itu kembali hidup. Di negeri ini, keajaiban mungkin jarang terjadi, tetapi hari itu, Supriyani adalah buktinya.

Kisah Supriyani bukan sekadar cerita. Ia adalah epik tentang keteguhan hati, tentang perjuangan tanpa lelah. Ia adalah bukti bahwa keadilan bisa datang, meski harus ditunggu dengan air mata.

Hari itu, di bawah langit Konawe Selatan yang cerah, Supriyani berdiri. Sebagai pemenang. Sebagai inspirasi. Sebagai guru yang akhirnya bisa tersenyum tanpa beban.

#camanewak


Like it? Share with your friends!