Oleh : Ketua Satupena Kalimantan Barat, Dr. Rosadi Jamani
DUA ORANG mendatangi rumah warga. Datang di subuh hari. Saat mentari belum keluar dari sarangnya. Pintu rumah diketuk dan keluar seorang warga.
Salah seorang langsung ngeluarkan selembar uang Rp 50 untuk dikasihkan.
“Mohon maaf, Pak. Jangan lupa coblos saya nanti, ya!”
“Apa ini, Rp 50 ribu. Bapak mau nyogok saya. Sama saja merendahkan harga diri saya. Warga di sini tidak mau model begini, asal tahu ya!” bentak warga yang langsung naik spaning.
Rupanya dua orang itu caleg dan asistennya. Si caleg mencolek asistennya agar dikasih lagi Rp50 ribu.
Asisten pun mendekati warga itu dan menambahkan selembar lagi. Warga itu masih marah tapi mulai turun tensinya.
“Bapak jangan begitu. Nyogok warga itu tidak baik. Sama halnya bapak menginjak harga diri warga di sini,”
Caleg itu kembali mencolek asistennya. Tambah lagi Rp50 ribu. Warga itu kembali menerima Rp50 ribu. Berarti sudah Rp150 ribu di tangannya.
“Bapak harusnya paham, warga di sini sebenarnya tidak suka yang beginian. Mereka ingin setiap caleg itu jangan hanya janji-janji saja. Bosan warga di sini,” ucap warga yang nadanya semakin melemah.
Akhirnya caleg menghampiri langsung warga itu, dan ngasihkan selembar Rp100 ribu. Warga itu tersenyum saat menerima lembaran merah.
“Ini baru mantap, bukan janji tapi bukti. Warga di senang yang beginian. Kalau mau ditemani, saya siap keliling bersama bapak. Jadi tim sukses pun mau,” ucapnya usai menerima total uang Rp250 ribu.
Sebuah parodi video jelang masa pencoblosan 14 Februari. Banyak lagi video parodi model begitu. Ada rumah dipasangi plang, “Siap menerima serangan fajar.”
“Pa..ngapain ngintip-ngintip keluar pintu subuh begini?” tanya istri.
“Sst..lagi nunggu serangan fajar, Ma!” jawab suaminya.
Ada juga parodi seorang warga gelar tikar di depan rumah caleg. Ia jemput bola. Takut tak kebagian serangan, ia tongkrongin rumah caleg sebelum melancarkan serangan.
Ia maunya dapat duluan. Ada saja ide kreatif kreator video yang membuat kita senyam-senyum.
Di masa tenang, ramai soal serangan fajar. Tandanya hal itu benar adanya. Walau belum pernah ngalami kena serangan, tapi warga sering membicarakan hal tersebut.
Apakah memang benar ada aksi menyogok pemilih dengan uang tunai ini?
Tidak ada asap bila tidak ada api. Cerita serangan fajar ini bukan kali ini saja. Setiap ada Pemilu dan Pilkada, serangan fajar selalu muncul. Saya yakin serangan itu ada, cuma susah dibuktikan.
Sebab, serangan massif itu dilancarkan secara senyap, tidak terang-terangan. Pelakunya, bukan Timses atau caleg itu sendiri, melainkan pihak ketiga. Apabila tertangkap, pihak ketiga ini tak ada kaitannya dengan Capres atau Caleg.
Ia murni bergerak sendiri dan uang sendiri. Anggap saja sedekah, dan biasanya susah diproses Bawaslu. Mereka sangat paham hukum.
Mottonya, “Tak masalah melanggar etika, asal jangan melanggar hukum.” Padahal, melanggar hukum, itulah dia sebenar-benar pelanggar etika.
Cuma, etika sudah tak berarti di zaman revolusi industri 4.0, hehehe ketinggian bahasanya ni.
Orang cerdas tak bakal mau kena serangan fajar. Setuju. Masalahnya, orang yang suka uang cash lebih banyak ketimbang yang tak mau. Di sini masalah utamanya.
“Ambil duitnya, jangan coblos orang!”
Hanya slogan saja. Faktanya, siapa yang ngasih lebih besar, dialah yang akan dipilih. Yang hanya jualan kecap alias janji atau modal pasang baliho di atas parit atau nempel di pohon, berat terpilih kalau tanpa “angpau”.
Duit menjadi fakfor penentu di masa tenang ini. Walau duit bukan segalanya, tapi tanpa duit tak bisa berbuat-apa.
Sungguh pun menghamburkan banyak duit, masih juga belum tertentu terpilih, apa lagi hanya modal share di WA grup, pasang iklan di medsos, japri kawan lewat WA.
Serangan fajar saya yakin ada dan susah dihentikan. Sebab, orang masih sangat senang dikasih duit. Kecuali, orang sudah kaya semua atau tak mau lagi dengan duit.
Apa yang bisa dilakukan dalam situasi demikian? Pertama, menunggu kena serangan fajar. Kedua, memasrahkan pada pilihan nurani sendiri tanpa perlu duit caleg.
Hanya itu saja pilihannya.
#camanewak