Negara Tak Beretika


Oleh : Ketua Satupena Kalimantan Barat, Dr. Rosadi Jamani

“TAK beretika tak masalah, asal jangan melanggar hukum” Kawan diskusi berkata demikian menyikapi putusan DKPP, kemarin.

Hukum adalah panglima. Ketika pasal-pasal dalam hukum tidak ada yang dilanggar, kenapa bawa-bawa etika segala.

Saya hanya mendengar kawan begitu bersemangatnya bicara etika dan hukum. Sampai pada kesimpulan, etika tak penting, hukumlah yang utama.

Melanggar etika tak bisa dipenjara, melanggar hukum bisa meringkuk di balik jeruji. Etika hukumannya hanya sosial, sementara hukum pidana masuk penjara.

Sebuah obrolan warung kopi. Diskusi lepas tanpa beban. Bagi saya, etika itu masih sangat penting. Keteraturan dan keadaban yang kita rasakan sampai saat ini karena masih menjunjung tinggi etika. Etika agama, moral, masyarakat, adat, dsb.

Peribahasa Melayu, “Jika kerbau yang dipegang talinya, sementara manusia yang dipegang mulutnya.” Maksudnya, jangan bohong. Walau pun berbohong itu tak dipenjara, tapi ucapannya tak lagi dipercaya.

Lho teriak di rumah ada maling, tapi tidak digubris orang, karena dianggap bohong atau bercanda. Kenapa? Karena sudah sering berbohong. Tak masuk penjara, tapi tak lagi dipercaya. Sedikit gambaran antara etika dan hukum.

Dua pelanggaran etika yang dianggap biasa. Dibiarkan begitu seolah-olah hal yang normal. Karena, bukan pelanggaran hukum. Kasus Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat geger nusantara. Semua hakim divonis melanggar kode etik.

Bahkan, jabatan ketua Anwar Usman dicopot oleh MKMK. Para pelanggar etika itu biasa saja. Tetap menjadi hakim dan menjalani profesinya tanpa rasa bersalah. Etika sudah tak ada artinya.

Terbaru, Ketua KPU Hasyim Asyari divonis melanggar kode etik untuk ketiga kalinya. Pelanggaran etik berat lagi. Komisioner yang lain juga divonis melanggar kode etik oleh DKPP. Apa yang terjadi pasca putusan itu, ya biasa saja, tak ada merasa bersalah.

Vonis DKPP anggap saja gigitan nyamuk. Para komisioner itu tetap enjoy. Jangan harap mereka mau mundur, wong tak melanggar hukum, hanya etik saja. Di sini hukum adalah panglima, etika ya tak ada artinya.

Melanggar etika hukumannya cuma, “Dasar muka tembok, dasar makan gaji buta, dasar pembohong, dasar tak beradat, dasar…dasar…!” Hukumannya hanya itu. Tak dipedulikan pun tak masalah.

Tak hiraukan pun fine-fine saja. Paling dua tiga hari hebohnya. Setelah itu, normal lagi. Dari fenomena ini, wajar bila kawan mengatakan, “Etika dilanggar tak masalah, asal jangan melanggar hukum.”

Bila sudah demikian, wajar apabila ada berkata, negara sudah tidak beretika. Agak emosional sih. Memang melanggar etika tak ada penjaranya.

Namun, ada bahaya di balik itu semua. Beberapa contoh negara yang menunjukkan perilaku tak beretika antara lain:

1. Pelanggaran HAM. Negara-negara otoriter sering melakukan pelanggaran HAM berat, seperti penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan pembatasan hak-hak dasar.

2. Agresi militer. Invasi dan pendudukan wilayah negara lain tanpa alasan yang sah merupakan tindakan tak beretika yang membawa dampak destruktif.

3. Korupsi. Merampok uang rakyat merajalela di banyak negara, menggerogoti fondasi demokrasi dan menghambat pembangunan.

4. Kerusakan lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan merupakan tindakan tak bertanggung jawab yang berefek jangka panjang.

Ini saya kutip dari sejumlah sumber dampak negara tak beretika. Dari empat hal itu, kita rasakan ndak wak sekarang. Untuk agresi militer sih tidak lah ya. Tapi, untuk korupsi dan kerusakan lingkungan, sangat-sangat dirasakan.

Korupsi, malas nak ngomong lah. Parah bangat dah. Ribuan dipenjara, tetap tak mengurangi minat orang untuk korupsi. Sepanjang tak ketahuan, boleh.

Kalaupun ketahuan atau ditangkap KPK, apes namanya. Begini ketika etika tak dianggap lagi.

Pancasila penuh dengan ajaran etika dan moral. Dari SD sampai perguruan tinggi kita diajarkan dasar negara itu. “Pak, mau nanya,” kata mahasiswa di kelas ke dosen Pancasila.

“Ya, silakan!”

“Kita di sini belajar Pancasila lengkap dari kajian historis, filsafat hukum. Tujuannya agar kita bisa mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tapi, mengapa di luar sana justru banyak orang tak beretika dan jauh dari semangat Pancasila, Pak?”

Bingungkan jawabnya. Jawaban terbaik, biarkan saja mereka melanggar etika, asal jangan kita.

“Asal jangan kita ya, nak!”

#camanewak


Like it? Share with your friends!