Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
SEPERTI biasa dua sahabat pensiunan kantor pemerintah, Wak Dalek dan Wan Dolah kembali duduk ngopi. Kali ini di Warkop Wak Leman Jalan Haruna Pontianak.
Keduanya baru bersua setelah libur tiga hari di Pantai Pasir Panjang Singkawang.
Di pojok Warkop, asap kopi bercampur aroma gorengan membumbung santai, seolah mengajak semua masalah negara istirahat sebentar.
Wak Dalek duduk dengan wajah semrawut, lebih mirip kertas kerja yang gagal difotokopi. Wan Dolah di sebelahnya mengaduk kopi sambil menatap kosong ke arah sepiring pisang goreng yang sudah dihinggapi lalat, tapi tetap saja ia santap dengan penuh filosofi.
“Jadi, Wan,” ujar Wak Dalek membuka percakapan, “kau dengar kabar soal PPN 12 persen itu?”
Wan Dolah tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi lebih karena kesal. “Kau ini Wak, bagaimana aku tak dengar? Bahkan angin pun berbisik soal pajak itu! Habis ini apa lagi? Udara yang kita hirup juga akan kena pajak, mungkin dinamakan PPN-U (Pajak Pernapasan Nasional-Utama).”
“Ah, kau ini suka nak merampot, Wan,” sela Wak Dalek sambil menyeruput kopinya. “Tapi memang ya, PPN 12 persen ini seperti lelucon paling tidak lucu yang pernah dibuat pemerintah. Kau tahu, jangankan rakyat, aku yang sudah pensiun saja ingin keluar dari grup WhatsApp negara ini!”
“Jangan salahkan pemerintah, Wak,” Wan Dolah mengangkat jarinya seperti dosen yang baru dapat inspirasi. “Mereka itu sudah terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya bikin hidup kita lebih sulit. Kreatif sekali mereka ini. Kadang aku pikir, kalau kreativitas mereka dipakai bikin film, mungkin bisa menang Oscar.”
“Film apa?” tanya Wak Dalek sambil memicingkan mata.
“Judulnya ‘Negara Tanpa Empati’,” jawab Wan Dolah datar.
Tawa Wak Dalek meledak seperti ketel uap. “Kau memang jenius dalam hal rampot-merampot, Wan. Tapi ya, lihat saja para mahasiswa itu, mereka demo di mana-mana.
Ada yang di Patung Kuda Jakarta, ada yang di Yogya, bahkan aku dengar ada yang mau demo di depan kandang sapi. Katanya, kalau sapi saja bebas pajak, kenapa kami tidak?”
Wan Dolah mengangguk setuju. “Benar, mahasiswa itu ibarat garam dalam sayur. Mereka pedas, tapi tanpa mereka, semuanya hambar. Masalahnya, Wak, pemerintah ini punya teknologi anti-garam.
Demo seramai apapun, mereka tetap santai, seolah-olah sedang piknik di pantai. Kau tahu, Presiden kita itu seperti pengantin baru. Selalu tersenyum, tak peduli rumah di belakangnya hampir roboh.”
Wak Dalek mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya di kursi plastik yang mulai berderit. “Kau benar, Wan. Dia bisa saja membatalkan PPN ini lewat Perppu. Tapi sepertinya dia lebih suka menonton dari tribun, seperti penonton yang sabar menunggu babak final sinetron.”
Wan Dolah menyeruput kopinya, lalu menatap Wak Dalek dengan pandangan serius yang jarang terlihat.
“Wak, aku rasa masalah negara kita ini bukan pajak, bukan juga presiden, tapi lebih kepada sistem yang sudah seperti kebun binatang. Yang berbicara adalah burung beo, yang berlari adalah kuda nil, dan yang mengatur semuanya adalah monyet di atas pohon. Apa kau paham maksudku?”
“Paham, Wan,” jawab Wak Dalek sambil tersenyum pahit. “Kita ini rakyat kecil cuma bisa jadi penonton. Kalau kita protes, mereka bilang, ‘Tenang saja, semua ini untuk kebaikan bangsa.’ Padahal bangsa yang mana, kita juga tak tahu.”
Keduanya terdiam, membiarkan suara televisi tua di sudut warkop menggema. Di layar, seorang pejabat berdasi sedang berpidato dengan penuh semangat, mengatakan bahwa PPN 12 persen adalah langkah strategis untuk memajukan ekonomi bangsa.
“Strategis kepala hotakmu,” gumam Wan Dolah sambil menyelipkan uang lima ribu untuk membayar kopi pancong.
Wak Dalek hanya terkekeh, lalu keduanya berjalan keluar warkop, meninggalkan kopi, pisang goreng, dan setumpuk ironi yang terlalu berat untuk dicerna pagi itu.
“Eh, tunggu lok. Tadi kau bilang merampot. Kemane perginya tokoh kite yang suke bilang merampot ye?”
“Tak tahulah, mungkin lagi jantok durian di Jemongko sana,”
#camanewak