FOTO : Erwin SH [ ist]
SEBAGAI seorang praktisi hukum yang mengikuti dinamika penegakan hukum di Kalimantan Barat, saya menyambut pergantian Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalbar ini bukan dengan tepuk tangan, melainkan dengan secercah harapan dan serentetan pertanyaan.
Ahelya Abustam, yang baru saja dilantik menggantikan Edyward Kaban, memikul tanggung jawab besar: memulihkan marwah kejaksaan di tengah krisis kepercayaan publik.
Bukan tanpa alasan saya menyebut ini krisis. Dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan bagaimana integritas aparat penegak hukum diuji dan sebagian jatuh.
Kasus-kasus yang menyeret oknum jaksa dalam praktik curang, mulai dari pemerasan hingga dugaan pengaturan perkara, bukan hanya mencoreng wajah institusi, tetapi juga melukai rasa keadilan masyarakat.
Sebagai orang yang berada di lapangan, saya melihat langsung betapa tumpulnya hukum ketika dihadapkan pada kekuasaan dan uang. Banyak kasus yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keadilan terasa jauh, bukan karena aturan tak ada, tapi karena yang menegakkannya gagal bersikap lurus.
Di titik inilah pergantian Kajati menjadi penting. Tapi lebih penting lagi: apakah pergantian ini hanya administratif, atau sungguh menjadi momentum reformasi internal? Saya percaya, perubahan tidak cukup dimulai dari atas, tapi harus dimotori oleh kemauan kuat untuk bersih-bersih dari dalam.
Artinya, langkah pertama yang harus diambil Ahelya Abustam adalah mengakhiri impunitas bagi oknum aparat yang menyimpang.
Kejati Kalbar butuh lebih dari pemimpin baru. Ia butuh keteladanan, ketegasan, dan keberanian. Penegakan hukum yang berintegritas tidak mungkin lahir dari sistem yang permisif terhadap penyimpangan.
Dan lebih dari itu, sinergi antarlembaga dengan kepolisian, pengadilan, dan lembaga pengawas harus dibangun secara nyata, agar penegakan hukum tidak menjadi ajang saling lempar tanggung jawab.
Sebagai praktisi, saya juga ingin mengingatkan bahwa kepercayaan publik adalah aset terbesar institusi hukum. Dan kepercayaan itu tidak dibangun dari pidato, tetapi dari keberanian mengambil tindakan yang benar, meski tidak populer.
Jika Ibu Ahelya Abustam bisa menjadikan posisinya sebagai titik awal pembenahan sistemik, maka ia bukan hanya menggantikan pejabat lama, tetapi memulai sejarah baru bagi Kejati Kalbar. Tapi jika tidak, maka publik hanya akan melihat babak baru dari pertunjukan lama di mana keadilan terus menjadi janji yang tak ditepati. (*)
Oleh : Erwin Siahaan, S.H. – Praktisi Hukum