Sastra, Kritik, dan Keseimbangan Kosmik

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

TAHUN BARU, waktu yang katanya pas buat refleksi. Refleksi apa? Gaya rambut? Bukan, ini refleksi tulisan.

Iya, tulisan saya, yang kadang lebih ramai dari pasar malam, tapi kadang juga lebih sepi dari toko kelontong habis hujan.

Sambil menikmati bubur ayam Seniman di Jalan Uray Bawadi Pontianak, saya ingin merefleksi tulisan-tulisan saya selama ini. Simak ya, wak!

Sastra itu begini, kadang berjiwa tinggi, kadang berjiwa kerasukan. Lihat pantun, misalnya. “Buah mangga di tepi jalan, dimakan monyet jatuh ke parit.

Raja salah, rakyat diam, kritik terbungkus bahasa halus.” Dulu, pantun itu alat kritik. Sekarang? Banyak pantun cuma dipakai buat ngode gebetan. Ealah, sastra jatuh cinta kelas RT.

Cerpen beda lagi. Saya sering buat cerpen ala Wak Dalek dan Wan Dolah, pensiunan bijak yang sering nyinyir soal politik sambil ngopi. Nama-nama mereka imajiner, tapi obrolannya lebih nyata dari kasus uang palsu sampai kasus CSR BI.

Kritik sosial lewat cerpen itu nikmat, seperti ngasih sambal pedas ke orang yang nggak sadar dia butuh.

Masalahnya, dunia digital ini rakus aktualitas. Orang lebih suka berita, judulnya bombastis, isinya kadang cuma angin.

Sastra? Ah, sering dianggap camilan mewah, padahal dia adalah nasi yang bisa bikin kenyang pikiran. Tapi, siapa sangka, tulisan-tulisan sastra saya punya pembaca setia.

Puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan sejuta lebih. Akun TikTok saya, @bangros20, udah hampir 7 ribu followers (jadi malu, dikit soalnya). Ternyata, di balik wacana “sastra itu kuno”, masih banyak yang menikmati.

Sastra itu adab, warisan leluhur. Kritik sosial lewat puisi, pantun, syair, atau cerpen bukan sekadar seni, tapi cara menjaga kewarasan. Kita ini bangsa yang besar, tapi kadang akhlak kita kecil. Sastra itu lentera, penerang jalan. Kalau bisa kritik pakai bahasa halus, kenapa harus pakai batu?

Jelang tahun baru di balik tulisan saya. Mari kita terus berkarya, menyentil, dan menyentuh. Karena kata-kata, kalau digunakan dengan benar, bisa jadi obat bagi bangsa yang sakit, atau sekadar senjata lucu untuk menertawakan kesalahan bersama.

Selamat tahun baru, teman-teman. Mari hidupkan sastra, karena kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

#camanewak