Oleh : Dr. M.S. Shiddiq, S.Ag, M.Si [ Penikmat Komunikasi Politik dan Kebijakan Publik, Peneliti CIDES Institute ]
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto mengenai keberadaan “raja kecil” di birokrasi menegaskan tantangan besar dalam reformasi tata kelola pemerintahan yang sedang diupayakan.
Dalam pidatonya di hadapan Muslimat Nahdlatul Ulama di Surabaya (Kompas, 11/02/2025), Prabowo menyoroti resistensi dari kalangan birokrat yang merasa kebal hukum dan enggan tunduk pada kebijakan efisiensi anggaran yang tengah digalakkan.
Hal ini menegaskan bahwa reformasi birokrasi tidak hanya memerlukan regulasi, tetapi juga strategi yang matang untuk menghadapi dinamika internal pemerintahan.
Sebelumnya, Presiden Prabowo telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang menekankan efisiensi belanja negara. Salah satu langkah utama dalam kebijakan ini adalah pembatasan perjalanan dinas luar negeri serta optimalisasi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Namun, implementasi kebijakan ini tidak berjalan tanpa hambatan. Tantangan utama datang dari birokrat yang cenderung mempertahankan status quo. Fenomena ini menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan efisiensi sangat bergantung pada strategi komunikasi yang efektif agar mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dalam birokrasi.
*Resistensi Birokrasi*
Dalam perspektif komunikasi politik, diksi “raja kecil” yang digunakan oleh Prabowo dapat dibaca melalui teori resistensi birokrasi sebagaimana dijelaskan oleh Max Weber (1947). Weber menyoroti bahwa birokrasi sering kali memiliki struktur hierarkis yang rigid dan berorientasi pada kepentingan kelompoknya sendiri.
Dalam konteks ini, resistensi terhadap kebijakan baru kerap muncul dari dalam sistem itu sendiri, menuntut pendekatan yang lebih adaptif dari pemerintah.
Fenomena “raja kecil” dalam birokrasi Indonesia yang disinggung Prabowo juga mencerminkan pola resistensi sebagaimana diidentifikasi oleh Michael Lipsky (1980) dalam konsep street-level bureaucracy.
Konsep ini menjelaskan bagaimana pejabat di tingkat implementasi sering kali memiliki diskresi tinggi yang dapat menghambat atau justru mendukung kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah harus menciptakan mekanisme yang mampu meredam resistensi dan mendorong birokrat agar lebih berorientasi pada pelayanan publik.
Dari perspektif kebijakan publik, teori Path Dependency yang dikemukakan oleh Paul Pierson (2000) juga relevan dalam memahami bagaimana birokrasi yang telah terbentuk dalam sistem lama cenderung mempertahankan praktik yang sudah ada.
Ketika perubahan kebijakan diperkenalkan, birokrasi cenderung bergerak dalam jalur yang telah lama terbentuk, sehingga reformasi harus didukung dengan kebijakan transisi yang mampu mengurangi hambatan struktural.
*Retorika Pemimpin*
Pernyataan Prabowo juga harus dilihat dalam konteks komunikasi politik. Dalam komunikasi politik, retorika pemimpin memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik dan memberikan tekanan terhadap sistem yang ingin diubah.
Pernyataan seperti “raja kecil” dapat menjadi alat untuk membangun opini publik sekaligus mengirimkan pesan kepada birokrasi agar lebih responsif terhadap kebijakan pemerintah.
Murray Edelman (1971) menjelaskan bahwa komunikasi politik sering kali digunakan untuk membentuk realitas simbolik guna memobilisasi dukungan publik dan menekan kelompok yang dianggap sebagai penghambat kebijakan.
Oleh karena itu, dalam menindaklanjuti pernyataannya, pemerintah perlu memastikan bahwa komunikasi politik tidak hanya menjadi retorika belaka, tetapi juga diikuti dengan langkah-langkah konkret dalam reformasi birokrasi.
*Reshuffle Kabinet*
Kritik dari berbagai pihak, termasuk dari DPP PDI Perjuangan yang meminta Prabowo menyebutkan secara spesifik siapa yang dimaksud dengan “raja kecil,” juga perlu dipertimbangkan. Kritik ini mencerminkan kebutuhan akan pendekatan yang lebih transparan agar tidak menimbulkan spekulasi politik yang justru dapat mengaburkan esensi reformasi itu sendiri.
Transparansi dalam penegakan kebijakan akan memperkuat legitimasi reformasi dan meminimalisir potensi konflik yang dapat muncul akibat ketidakjelasan implementasi kebijakan.
Pasca 100 hari pertama pemerintahan, pernyataan Prabowo juga dapat dimaknai sebagai sinyal akan adanya reshuffle kabinet atau perombakan dalam struktur pemerintahan.
Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa evaluasi kinerja dalam 100 hari sering kali menjadi indikator bagi presiden dalam menentukan apakah ada menteri atau pejabat tinggi yang perlu diganti. Langkah ini menjadi bagian dari strategi untuk memperkuat efektivitas pemerintahan.
Salah satu contoh konkret dari kebijakan reshuffle ini adalah pergantian Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dari Satryo Soemantri Brodjonegoro ke Brian Yuliarto. Keputusan ini dinilai sebagai bagian dari upaya Prabowo untuk menegaskan otoritasnya terhadap resistensi birokrasi.
Satryo, yang dikenal memiliki hubungan erat dengan jaringan birokrasi lama, dinilai kurang responsif terhadap visi efisiensi dan reformasi yang dicanangkan oleh pemerintahan baru. Brian, sebagai penggantinya, dianggap lebih kompatibel dengan arah kebijakan Prabowo yang berfokus pada efisiensi dan digitalisasi birokrasi pendidikan tinggi.
Pergantian ini mencerminkan cara Prabowo membaca dinamika “raja kecil” dalam birokrasi dan menegaskan bahwa ia tidak akan ragu melakukan tindakan tegas terhadap pejabat yang dinilai menghambat kebijakan strategisnya.
*Masa Depan Reformasi Birokrasi*
Kebijakan efisiensi anggaran yang diusung Prabowo juga memiliki dampak signifikan terhadap sektor ekonomi. Pemangkasan anggaran perjalanan dinas luar negeri dan optimalisasi belanja pemerintah berpotensi menekan pengeluaran negara, yang pada akhirnya dapat mengurangi defisit fiskal.
Dalam teori ekonomi makro, pengelolaan anggaran yang efisien dapat meningkatkan stabilitas ekonomi jangka panjang. Namun, kebijakan ini juga perlu diimplementasikan dengan pertimbangan yang matang agar tidak berdampak negatif pada sektor-sektor tertentu.
Para ekonom menyoroti bahwa efisiensi anggaran harus diimbangi dengan peningkatan efektivitas belanja pemerintah. Pengurangan pengeluaran yang tidak tepat sasaran harus diikuti dengan kebijakan fiskal yang mendukung pertumbuhan ekonomi, seperti insentif bagi sektor riil dan investasi dalam pendidikan serta kesehatan.
Meskipun kebijakan efisiensi anggaran salah satunya melalui kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) memiliki potensi manfaat besar bagi stabilitas fiskal, pemerintah perlu memastikan bahwa dampak negatifnya terhadap sektor ekonomi dapat diminimalkan.
Ke depan, efektivitas kebijakan efisiensi anggaran dan reformasi birokrasi akan sangat ditentukan oleh sejauh mana pemerintah mampu menindaklanjuti pernyataan Presiden Prabowo dengan aksi nyata.
Penguatan sistem meritokrasi, peningkatan kapasitas aparatur sipil negara (ASN), serta digitalisasi sistem birokrasi dapat menjadi solusi yang lebih konkret dalam mengatasi resistensi birokrasi.
Tanpa strategi yang terukur, kritik terhadap “raja kecil” di birokrasi hanya akan menjadi narasi politik tanpa dampak nyata bagi tata kelola pemerintahan yang lebih baik.