Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
HARI ini saya merasa seperti editor besar di tengah festival literasi internasional. Padahal, cuma dosen Bahasa Indonesia biasa.
Tapi tunggu dulu, ini bukan hari biasa. Hari ini saya panen karya. Para mahasiswa kelas Manajemen Fakultas Ekonomi UNU Kalbar semester 1 akhirnya mengumpulkan tugas besar mereka, membuat novel. Ya, ente tidak salah baca. Novel. Dengan N besar.
Tugas ini saya berikan di akhir 2024, momen yang sangat strategis untuk menguji kesabaran mereka di antara resolusi tahun baru dan deadline tugas lain. Lokasi pengumpulan pun saya pilih dengan cermat, Taman Alun Kapuas Pontianak.
Supaya apa? Supaya dramatis. Sebab tugas besar harus dirayakan di tempat besar, bukan sekadar ruang kelas sumpek dengan kipas angin yang malas berputar.
Satu per satu mereka datang, membawa print-out novel ukuran A4 yang saya curigai hasil perang mental dengan Microsoft Word semalaman. Saya buka satu demi satu, baca judul dan sinopsisnya.
Saya terkejut. Ternyata ancaman nilaimemang lebih ampuh dari motivasi muluk-muluk tentang “potensi kreatif”. Generasi Gen Z ini benar-benar bisa menulis novel! Bahkan, dengan gaya mereka sendiri.
Beberapa judul novel yang mereka kumpulkan membuat saya tertegun. Misalnya:
Bintang di Tengah Keluarga, Jejak Rindu, Air Mata di Balik Tawa, Hati yang Tertinggal, Peacemaker of Two Worlds.
Ada juga yang memilih tema sederhana, tapi mengundang tanda tanya:
Cinta di Ujung Sawah, Hujan di Balik Jendela, Kalau diteruskan, daftar ini bisa jadi satu novel lagi.
Kebanyakan dari mereka mengambil cerita dari pengalaman hidup. Dramatis, emosional, kadang absurd. Sisanya memilih jalur aman, fiksi. Tapi mau fiksi atau nyata, saya tetap bangga.
Ini adalah puncak dari perjalanan literasi mereka. Sebelumnya, saya sudah mengajarkan membuat pantun, puisi, dan cerpen. Mereka berhasil. Kini, dengan novel, mereka membuktikan satu hal penting, ancaman nilai itu nyata, tapi karya lebih nyata lagi.
Saya sampaikan kepada mereka, “Bapak senang kalian sudah membuat novel. Harapannya, ini bukan yang pertama dan terakhir. Siapa tahu ada penerbit yang tertarik.” Mereka tersenyum. Entah senyum bangga, lega, atau sekadar lelah karena belum tidur.
Semua novel ini akan dipajang di etalase kampus. Sebagai bukti nyata bahwa generasi Gen Z, yang katanya sibuk main gadget, ternyata bisa menulis novel. Siapa tahu, dari taman ini, lahir sastrawan besar masa depan.
Begitulah. Hari ini saya senang. Sangat senang. Seperti senangnya petani melihat panen raya. Novel mereka adalah bukti bahwa sastra bukanlah barang antik, tapi hidup. Bahkan di tangan mahasiswa ekonomi semester satu.
#camanewak