Oleh : Ketua Satupena Kalimantan Barat, Dr. Rosadi Jamani
HUKUMAN terkejam rakyat kepada politisi adalah dengan tidak memilihnya. Betul begitu ya.
Bagaimana bila rakyat sudah memilihnya, tapi yang dipilih malah mundur. Lalu, yang tak terpilih malah duduk. Hukuman rakyat tak ada artinya.
Saat perhitungan suara dinyatakan final, mantan Gubernur itu dipastikan juga tak terpilih. Yang terpilih malah seorang wanita muda. Selisih 10.972 suara.
Muncul narasi begini, “Inilah cara rakyat menghukum mantan Gubernur itu.” Banyak yang senang. Siapa sangka kesenangan itu hanya sesaat. Beredar sebuah video viral.
Seorang saksi dari partai yang mengusung caleg wanita muda itu menyatakan di hadapan KPU, ada surat dari ketua umum partai bahwa calegnya mengundurkan diri.
Surat pengundurkan diri di atas materai segera disampaikan ke Bawaslu dan KPU.
Banyak kaget dengan video itu. Wajar menjadi viral. Muncul narasi, “Rakyat pun tak mampu menghukumnya.”
“Kasihan yang memilihnya. Begitu terpilih malah mengundurkan diri.”
Beragam tafsir politik terkait fenomena tak biasa itu. Pada Pemilu 2019 lalu, ada mirip kasus seperti itu. Yang terpilih “dikriminalisasi” oleh partainya sendiri.
Dilaporkan ke mahkamah partai, dan putusannya caleg yang diinginkan pengurus pusat yang berhak duduk. KPU hanya bisa pasrah.
Ada yang berontak, lapor ke pengadilan. Tetap tak bisa. Sebab, itu urusan internal partai. Urusan internal harap diselesaikan di internal juga.
Kasus di atas, mengundurkan diri sebagai caleg. Nah, di sini masalahnya. Hampir dipastikan terpilih karena selisih suara sampai 10 ribu lebih, eh malah mengundurkan diri.
Itu benaran mundur atau dipaksa mundur. Atau, ada deal politik lain, misal kan dipaksa mundur nanti kompensasi diberikan tiket calon bupati. Macam-macam orang menafsirkan.
Mantan Gubernur itu memiliki rekam jejak yang banyak kontroversial di masyarakat. Ketika Pemilu ia malah nyaleg. Dengan harapan pasti terpilih. Masa’ mantan gubernur bisa kalah.
Kurang apa, hayo…! Saat fight benaran, suaranya malah jauh tertinggal. Dipastikan gagal ke Senayan. Namun, segala cara bisa dilakukan, karena punya power besar.
Apalagi punya kedekatan khusus dengan Ketum. Yang terpilih tiba-tiba mundur. Padahal, betapa susahnya mengumpulkan suara berbiaya tinggi itu. Betapa beratnya menarik simpati rakyat.
Mana harus bersaing dengan caleg lain yang tak kalah agresif. Eh, begitu di ujung, tinggal menunggu ketetapan KPU, malah mundur pula. Saya juga bingung, kok ada macam ini ya.
Saya tak bisa bayangkan bagaimana tim suksesnya, para pendukungnya yang tak kalah mati-matian berjuang di lapangan.
Bekerja siang malam, masuk kampung keluar kampung demi calegnya terpilih. Apa hasilnya, semua menjadi ambyar. Orang diperjuangkan memilih mengundurkan diri di ujung episode. Pasti kecewa.
Mau gimana lagi. Secara hukum memang tidak salah. Urusan internal partai tak bisa diintervensi oleh pihak mana pun.
Mau tidak mau KPU tinggal menerima pengunduran diri itu, dan menerima caleg suara terbanyak kedua sebagai penggantinya.
Di sini kita melihat betapa besarnya pengaruh partai, bukan rakyat. Kalau ada istilah petugas partai, tak bisa dinafikan.
Presiden, Gubernur, Bupati, wakil rakyat semua terpilih karena partai mengusungnya. Rakyat boleh memilih sampai terpilih, tapi yang mengendalikan adalah partai politik.
Berjuta-juta rakyat demo ke Senayan, tak ada artinya bila partai tak mengindahkannya. Sebaliknya, berjuta-juta rakyat menolak tak juga ada gunanya bila partai menerima atau mengaminkan apa kata pemerintah. Partai sangat power full.
Partai mau disalahkan, dihukum dengan tidak dipilih, emang bisa! Buktinya, begitu Pemilu partai itu lagi pemenangnya. Caleg incumbent lagi yang terpilih. Cukup dikasih Bansos dipilih lagi.
Akhirnya, Senayan hanya dihuni wajah lama. Wajah baru ada sih, cuma sedikit saja. Mereka yang terpilih adalah para petugas partai yang siap mengamankan apa kata ketum, bukan apa kata rakyat.
Ada banyak saran, demo itu jangan di depan gerbang Senayan, demolah ke rumah Ketum Partai.
Bagus juga sarannya. Asal jangan demo ke rumah saya, ampun dah.
#camanewak