Membedah “Si Anak Tiri” Sektor Budaya

Syukur-syukur ada. Kadang tak ada sama sekali. Masih dipandang sebelah mata. Dianaktirikan dari sektor lain. Itulah sektor budaya. Benarkah demikian?

Selasa, 10 September 2019 lalu, saya diundang mengikuti Rapat Koordinasi Kebudayaan Provinsi Kalbar di Hotel Kini Pontianak. Diundang oleh Biro Kesra Setda Provinsi Kalbar. Biro yang menangani persoalan kebudayaan di Bumi Khatulistiwa. Hadir mewakili Rektor UNU Kalbar.

Sebelum pukul 08.00 Wib saya sudah datang. Begitu di ruangan rapat, sejumlah tokoh budaya sudah datang duluan. Yang saya kenal ada Prof Chairil Effendi, Yacobus Kumis, Halim AR, Eddy Jenggot, Rihat Nasir. Itu yang saya kenal. Selebihnya tak kenal. Oh, iya Bu Mahmudah, Kepala Biro Kesranya. Sudah lama kenal saat sama-sama di LPTQ Kalbar.

Ada narasumber dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Ia banyak menjelaskan soal visi misi pemerintah terkait budaya. Macam-macam ia beberkan. Termasuklah undang-undangan budaya seperti cagar budaya. Ketika objek sudah ditetapkan jadi cagar budaya, tidak boleh diubah apalagi dirusak. Harus seperti aslinya.

Sayapun singgap. Ini yang saya tunggu. Terkait renovasi total Masjid Jami Keraton Landak. Wujud aslinya tak ada lagi. Berganti dengan masjid baru menggunakan beton. Hanya tersisa sejarah saja. Lantas, pertanyaan saya, siapa yang bertanggung jawab? Sayang, narsum dari Jakarta itu tidak tegas menjawab. Malu-malu. Mungkin takut kali. Ia hanya menjawab, kementerian terbatas sumber daya manusia. Bisa saya simpulkan, tak sempat ngurus begituan.

Aturannya jelas. Hukumannya jelas. Pelakunya jelas. Objeknya juga jelas. Semua jelas dan terang benderang. Tapi, tidak bisa diseret ke meja hijau. Lagi-lagi kita harus membenarkan ungkapan publik. “Begitulah hukum kita. Wajar tak ditakuti. Hukum dibuat untuk dilanggar.”

Pada akhirnya, cerita Masjid Jami Keraton Landak hanya tinggal cerita. Bahwa, dulu pernah ada masjid jami. Seluruh materialnya terbuat dari kayu. Tidak ada paku, hanya ada pasak. Bentuk bangunannya unik. Sayang, bangunan sangat bersejarah itu hanya tinggal cerita. Hanya ada di dalam narasi buku. Generasi akan datang hanya diwarisi cerita itu saja. Sedih….!

Pertanyaan berikutnya saya tujukan ke dinas yang menangani kebudayaan di Kalbar. Saya tanyakan, berapa sih anggaran untuk kebudayaan tahun 2020. Ia menjawab, tahun 2020 anggaran kebudayaan naik fantastis. Dari Rp3,5 miliar, naik menjadi Rp7,5 miliar. Wow, itu sebuah lompatan luar biasa. Tandanya, para pemangku kepentingan mulai sadar akan pentingnya kebudayaan. Mulai tak lagi memandang sebelah mata. Biasanya, kalau sudah cerita budaya, omongannya tinggi langit. Giliran ditanya berapa anggaran, di bawah Rp1 miliar. “Kita tak bisa berbuat banyak. Sudah diusulkan anggaran Rp5 miliar. Tapi begitu dibahas di Dewan, tinggal Rp500 juta.” Kata salah satu peserta. Apa yang bisa diperbuat dengan anggaran hanya Rp500 juta. Sekali even budaya, selesai.

Kemudian, pertanyaan terakhir saya tujukan pada budayawan Kalbar, Rustam Halim. Pertanyaan saya begini, “Sudah banyak saya tanya, namun tak ada jawabannya bisa memuaskan. Pertanyaan saya, apakah disebut orang Dayak bagi orang Melayu sebelum Islam masuk ke Kalimantan?” Pada kaget dengan pertanyaan itu. Maklum, antara Melayu dan Dayak seperti ada pemisah. Mantan wartawan Pontianak Post itupun menjawab, sebelum Islam, Kristen, maupun Katolik masuk ke Kalimantan, semua penganut agama Hindu. “Nah, sebelum Hindu itu, kita ini siapa? Pastinya istilah Dayak itu barang baru. Ada catatan, istilah Dayak itu dimunculkan oleh orang Belanda,” jawabnya.

“Orang tua-tua dulu hanya mengenal istilah orang darat dan laut. Orang Dayak disebut orang darat. Sementara yang tinggal di pesisir orang laut. Itu saja. Saya berkeyakinan, kita dulu adalah satu,” jelas Rustam Halim. Saya menangkap, ungkapan kata “kita dulu satu” maksudnya, antara Melayu dan Dayak memang satu keturunan. Cuma, begitu masuk agama dari luar, mulai ada perbedaan identitas. Disebut Melayu karena ia Islam. Disebut Dayak karena ia Katolik atau Kristen. Identitas seperti ini mestinya dihindarkan. Mesti dikedepankan adalah, kita adalah satu. Jangan sampai yang satu ini menjadi tercerai berai orang pendatang.

Persoalan budaya selalu ada. Banyak budaya asli di daerah ini. Sayang, belum banyak diangkat. Ditanya ke pemerintah daerah, selalu alasan tak punya banyak dana. Pada akhirnya, banyak adat budaya hilang ditelan bumi. Lalu, berganti dengan budaya asing. Banyak generasi sekarang lebih senang budaya luar ketimbang budaya aslinya sendiri. Lebih parah lagi kalau sudah dibalut agama. Tradisi asli malah dituduh musyrik, bidah, dan sebagainya.

Adat istiadat melahirkan budaya asli. Budaya itu sendiri adalah identitas dari nenek moyang. Ketika budaya asli tercerabut, hilang sudah identitas. Lalu berganti dengan identitas budaya luar. Ayo, kita pertahankan budaya kita sendiri. Jangan mudah terpesona dengan budaya luar. Banggalah dengan budayamu sendiri.

 

Penulis : Rosadi Jamani
Dosen UNU Kalimantan Barat