FOTO : Dr. Muhammad Faisal dan Sobirin M.Pd.I [ ist ]
Tim redaksi – RADARKALBAR.COM
SINTANG – Kekecewaan mendalam disuarakan sejumlah alumni Pondok Pesantren Darul Ma’arif Sintang, yang menilai lembaga pendidikan Islam legendaris ini kini terjebak dalam stagnasi memprihatinkan.
Lebih dari tiga tahun, roda kaderisasi dan aktivitas pendidikan di pesantren yang berdiri sejak era 1990-an tersebut nyaris tak bergerak.
Sorotan tajam diarahkan kepada Saiful Anam, Ketua PCNU Sintang, dan Awam Sanjaya, Ketua LP Ma’arif Sintang.
Dua figur yang pernah berjanji akan menghidupkan kembali kegiatan pendidikan di Darul Ma’arif itu dinilai gagal menepati komitmen mereka.
“Kami sudah kehilangan sekolah yang dulu menjadi kebanggaan. Janji yang mereka ucapkan untuk mengaktifkan kembali pesantren ini tinggal kata-kata. Padahal, izin operasional masih berlaku. Kalau mereka serius, proses kaderisasi bisa dimulai kapan saja,” ungkap Dr. Muhammad Faisal, alumnus Madrasah Aliyah Darul Ma’arif, pada Sabtu (9/8/2025).
Lantas, nada serupa disampaikan Sobirin, M.Pd.I, alumni angkatan ke-6 yang kini menempuh program doktor di Universitas Islam Internasional Darullah Wa’ddawah.
Ia mengenang masa-masa keemasan pesantren di bawah asuhan KH. Mohamad Gozali, saat para santri turun langsung berdakwah ke kampung-kampung, mengajarkan fardhu kifayah hingga pelosok pedalaman Kalimantan Barat.
“Sekarang, semua itu lenyap. Tak ada aktivitas pendidikan. Ironisnya, kami tak lagi punya sekolah yang bisa dibanggakan di hadapan anak cucu. Apa yang terjadi ini sungguh melukai sejarah dan identitas kami sebagai alumni,” ujarnya getir.
Para alumni mendesak Saiful Anam dan Awam Sanjaya untuk segera mengambil langkah nyata, bukan sekadar retorika.
Mereka mengingatkan, membiarkan Darul Ma’arif terus mati suri bukan hanya mencoreng sejarah pesantren, tetapi juga berpotensi merusak marwah Nahdlatul Ulama (NU) di mata publik.
Diketahui, NU sebagai ormas Islam terbesar, dinilai memiliki kewajiban moral dan struktural untuk menjaga eksistensi pesantren, menguatkan basis ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah, dan mendorong kebangkitan pendidikan Islam di daerah.
Jika kepemimpinan di tingkat daerah tidak mampu menjalankan fungsi tersebut, alumni khawatir kepercayaan masyarakat terhadap NU akan runtuh, memicu konflik internal, dan memperlemah pengaruh dakwah di wilayah perbatasan.
“Darul Ma’arif bukan sekadar bangunan, tapi simbol perjuangan. Jika simbol ini dibiarkan roboh, kita akan kehilangan lebih dari sekadar sekolah,” pungkas seorang alumni senior lainnya. [ red ]
editor/publisher : admin radarkalbar.com