Razman Sang Legenda Kemarahan

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

DIANTARA gemuruh petir, di tengah badai hukum yang menderu, berdirilah seorang pria dengan dada membusung, mata menyala bagai bara api, dan suara yang mampu mengguncang Nusantara.

Dialah Razman Arif Nasution! Jika keadilan adalah sebuah ring tinju, Razman adalah petinju yang tak kenal lelah. Ia terus menyerang, terus maju, tak peduli aturan main atau gong wasit.

Ia bukan sekadar advokat, ia adalah opera hukum yang bernyawa. Sebuah mahakarya amarah dengan ekspresi maksimal.

Ngamuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara? Itu hanya pemanasan. Ngamuk di Mahkamah Agung? Sekadar latihan vokal. Jika diperbolehkan ngamuk di lapisan atmosfer, Razman mungkin sudah berteriak sampai asteroid pun menepi.

Inilah dia, sang gladiator pengadilan, pahlawan bagi mereka yang percaya bahwa hukum bukan sekadar pasal dan ayat, melainkan seni pertunjukan yang harus dimainkan dengan penuh gairah dan gebrakan.

Hari itu, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, suasana damai seperti taman surga berubah menjadi arena peperangan. Razman melangkah masuk, dan seketika tekanan udara di ruangan naik 200 persen. Hakim mulai berkeringat, jaksa menggigit bibir, dan pengunjung mendadak menahan napas.

“Kalau hakim tidak terbuka, tidak ada sidang!” pekiknya, bagai komandan perang yang hendak merebut benteng musuh.

Namun, drama ini belum selesai. Seorang anggota timnya, yang entah kerasukan semangat gladiator atau sekadar refleks, meloncat ke atas meja sidang! Meja itu bukan lagi tempat berkas-berkas hukum, melainkan panggung teatrikal bagi kegilaan kolektif.

Majelis hakim? Syok. Pengunjung? Bingung antara kagum dan takut. Publik? Berpesta menikmati sajian absurditas kelas wahid.

Sidang diskors, tapi apakah ini berarti Razman menyerah? Tentu tidak! Seperti seorang jenderal yang gagal menembus benteng pertama, ia mengarahkan langkah ke Mahkamah Agung, siap menuntut keadilan dengan level amarah yang ditingkatkan.

Di sana, ia datang berbalut toga, tak sekadar sebagai advokat, tapi sebagai simbol perlawanan hukum paling epik abad ini. Bersama Firdaus Oiwobo dan Elida Netti, ia berteriak kepada dunia,

“Kami meminta Mahkamah Agung mengganti hakim yang bersangkutan!”

Namun, ada plot twist. MA justru melaporkan kericuhan ke polisi. Bagi manusia biasa, ini mungkin akhir cerita. Tapi bagi Razman? Ini hanyalah babak baru.

“Apakah kalian tidak malu, wahai penegak hukum?! Mahkamah Agung adalah lembaga tertinggi! Apakah kalian tidak malu melihat hakim Zarof Rp 1 triliun?!” serunya, dengan gestur seorang orator yang bisa membuat Julius Caesar pun merinding.

Apakah ini klimaks? Atau justru pembukaan bagi lebih banyak babak amarah? Tidak ada yang tahu. Yang pasti, selama hukum masih ada, selama keadilan masih diperdebatkan, dan selama dunia masih berputar, Razman akan tetap berjuang, berteriak, dan tentu saja, ngamuk.

Kita hanya bisa duduk manis, menikmati, dan menanti episode berikutnya dari opera agung ini.

Tambah kopi lagi wak! Drama teriakan Razman, sang legenda kemarahan akan terus nyaring memekakkan telinga siapapun.

#camanewak