FOTO : Ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
WAK, saya mau marah. Daerah ulun, Kalbar dijadikan tempat korupsi. Para bedebah, tikus berdasi telah mengotori Bumi Khatulistiwa. Mau ngopi pun tak nafsu. Simak kemarahan saya, wak!
Dengar PLN rugi itu sudah lumrah. Padahal, tak ada kompetitor. PLN memang susah bersih dari korupsi, seolah tegangan tinggi bukan cuma untuk listrik, tapi juga untuk nafsu. Kini, nama besar yang ikut tersangkut dalam jaringan tiang uang negara itu adalah Halim Kalla, adik kandung dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Lahir di Makassar, 1 Oktober 1957, Halim adalah potret sempurna keluarga Bugis yang ulet dan ambisius. Ia kuliah di State University of New York, Buffalo, jurusan ekonomi dan bisnis, gelar yang semestinya menyalakan lampu kemajuan bangsa.
Tapi kini, sinarnya meredup di bawah bayangan dugaan korupsi proyek PLTU 1 Kalimantan Barat (Kabupaten Mempawah) yang mangkrak dan merugikan negara sekitar Rp 1,35 triliun.
Kisahnya berawal dari proyek PLTU 2×50 MW milik PLN. Sebuah rencana besar yang seharusnya menerangi Kalbar, tapi berakhir menjadi monumen kegagalan. Menurut penyidik Polri, proyek ini dijalankan lewat konsorsium yang dipimpin PT BRN, di mana Halim disebut ikut terlibat.
Lelang proyek dikabarkan sudah “diatur” sebelum dimulai, kontrak diperpanjang tanpa dasar, dan pekerjaan selesai di atas kertas tapi tidak di lapangan.
Ironisnya, Halim bukan orang baru di dunia energi. Ia pernah menjadi anggota DPR RI periode 2009–2014, duduk di Komisi VII yang membidangi riset, teknologi, dan energi sumber daya mineral. Takdir seolah sedang menulis satire, dulu mengawasi sektor energi, kini terseret dalam proyek yang membuat listrik negara redup.
Di luar politik, Halim dikenal sebagai pengusaha mapan. Ia memimpin Haka Sentra Corporindo, perusahaan yang membawahi jaringan bisnis dari otomotif, konstruksi, hotel, energi, hingga telekomunikasi.
Ia juga menjadi direktur PT Makassar Raya Motor, membuka cabang di berbagai kota di Sulawesi, dan menggenggam PT Sarah Cell di sektor komunikasi. Dalam dunia bisnis, ia adalah magnet kesuksesan. Tapi rupanya, magnet yang sama juga menariknya ke pusaran kasus besar.
Penyidik menyebut, dari proyek itu, kerugian negara mencapai lebih dari satu triliun rupiah. Sebuah angka yang jika dijadikan token listrik bisa menerangi seluruh Kalimantan selama setahun penuh.
Sayangnya, yang menyala bukan rumah rakyat, melainkan rekening pribadi yang gemuk. PLN kehilangan arus, tapi ada arus uang yang mengalir ke saku-saku gelap.
Tentu, secara hukum, Halim masih “tersangka”. Ia masih punya hak membela diri. Namun di mata publik, dugaan korupsi sudah cukup membuat rasa mual menyalak lebih cepat dari genset PLN saat mati lampu. Karena yang dicuri bukan sekadar uang negara, melainkan cahaya dari kepercayaan rakyat.
Dulu, nama Halim Kalla dielu-elukan sebagai simbol kerja keras, pantang menyerah, tangguh, sukses tanpa banyak bicara. Kini, nama itu menjadi ironi, tentang bagaimana manusia bisa mendirikan perusahaan listrik tapi kehilangan terang di hatinya.
PLN memang susah bersih, tapi mungkin karena yang kotor bukan hanya kabelnya, melainkan jiwa-jiwa yang menyalurkan arusnya. Ketika proyek PLTU Mempawah kini mangkrak di bawah langit Kalbar, publik tahu, di republik ini, kadang yang padam bukan listrik, tapi moral pejabatnya.
Halim Kalla, dengan segala kekuasaan, gelar, dan silsilah kebesarannya, hanya jadi bukti terbaru, terang bisa juga menciptakan bayangan paling gelap.
Dari kisah ini, kita belajar, kecerdasan tanpa kejujuran hanyalah kabel tanpa arus, berlapis tembaga tapi tak menghantarkan apa-apa. Korupsi bukan sekadar pencurian uang negara, melainkan perampasan masa depan rakyat.
Ia memadamkan harapan, menyalakan sinisme, dan membuktikan gelar, keluarga besar, atau jabatan tinggi tak menjamin seseorang mampu menjaga nurani. Di ujung cerita, yang tersisa bukan harta, melainkan nama yang diingat sebagai pelaku menjual terang demi kegelapan yang ia ciptakan sendiri.
#camanewak