Useless Generation


FOTO : Rosadi Jamani (Ist)

Oleh : Rosadi Jamani (Ketua Satupena Kalbar)

REHAT sejenak soal politik. Sudah banyak pakar dan pengamat memikirkannya. Kalau menarik, ditonton. Kalau membosankan, ditinggal ngopi saja.

Kali ini saya nak bicara useless generation. Kalau diartinya bebas, generasi unfaedah, generasi tak berguna. Saya dapat istilah ini dari Renald Kasali dalam podcast Helmi Yahya.

Ia menyorot lulusan perguruan tinggi, banyak tak siap kerja. Gelar ada, tapi disuruh kerja tak bisa. Gelar ada, tapi dunia kerja tak membutuhkannya.

Akhirnya, jadi sopir, jualan di kaki lima, jadi sales, dsb. Sementara kompetensi keilmuannya, useless.

Apa yang dibicarakan Renald dan Helmi bukan cerita baru. Pihak Kemenristekdikti juga udah paham. Sangat paham lagi. Apa yang dilakukan pemerintah? Meluncurkan program Kampus Merdeka Indonesia Jaya.

Tujuannya, program “hak belajar tiga semester di luar program studi” adalah untuk meningkatkan kompetensi lulusan, baik soft skills maupun hard skills, agar lebih siap dan relevan dengan kebutuhan zaman, menyiapkan lulusan sebagai pemimpin masa depan bangsa yang unggul dan berkepribadian.

Program-program experiential learning dengan jalur yang fleksibel diharapkan akan dapat memfasilitasi mahasiswa mengembangkan potensinya sesuai dengan passion dan bakatnya. Gitu katanya.

Apakah program itu sudah sesuai harapan, perlu riset atau penelitian dulu untuk menilainya. Maklum barang baru. Artinya, pemerintah sudah memikirkan apa yang dibicarakan Renald dan Helmi. Tinggal kampus memikirkannya.

Fakta di lapangan, industri pasar tenaga kerjanya diperkirakan berubah paling drastis dalam 5 tahun ke depan adalah industri media, hiburan, dan olah raga.

Sekitar 32 persen dari bidang pekerjaan di industri tersebut diperkirakan bakal lenyap atau merupakan profesi baru.

Pergeseran drastis (di atas rata-rata 23 persen) juga diramal terjadi di bidang pemerintahan, komunikasi digital dan teknologi informasi, real estat, layanan keuangan, serta transportasi dan rantai pasok.

Ada 15 profesi yang paling banyak dicari untuk lima tahun ke depan :

1. Spesialis kecerdasan buatan (AI) dan machine learning,

2. Spesialis keberlanjutan (sustainability),

3. Analis business intelligence,

4. Analis keamanan sistem informasi,

5. Insinyur di bidang fintech,

6. Analis data dan data science,

7. Insinyur di bidang robot, 8. Spesialis big data

9. Operator peralatan pertanian,

10. Spesialis transformasi digital,

11. Pengembang blockchain,

12. Spesialis ecommerce,

13. Spesialis strategi dan pemasaran digital,

14. Insinyur data (data engineer),

15. Desainer komersial dan industrial

Coba perhatikan dari 15 item itu, rata-rata berhubungan dengan komputer, mesin, dan bisnis.

Kira-kira ada kampus yang mencetak profesi tersebut? Pastinya ada, cuma tidak semua kampus. Lebih banyak tidaknya lah.

Sisi lain, banyak perusahaan justru membuat sekolah sendiri. Seperti Institut Teknologi Telkom, Universitas Pertamina, dll.

Semakin menyentak dunia perguruan tinggi ketika Google membuka lowongan kerja terbuka, tak perlu ijazah, cukup lihatkan skill di bidang IT, bila mumpuni, diterima.

Cetak lulusan jalan terus, sementara pasar yang menyerap lulusan hanya segelintir. Wajar apabila setiap pembukaan CPNS atau PPPK dari pemerintah selalu dinanti.

Pendaftarnya bisa berkali-kali lipat. Di momen inilah ijazah lulusan perguruan tinggi bisa dijadikan syarat. Di luar loker pemerintah, rata-rata membutuhkan skill dan pengalaman. Yang dibutuhkan juga sedikit.

Pada akhirnya, lulusan lebih banyak nganggur. Wajar apabila ada mengatakan, perguruan tinggi pencetak pengangguran. Punya ilmu tapi susah diserap penyedia kerja. Ironis ya. Walau pun ada yang terserap, cuma porsinya sangat kecil.

Itu bila lulusan dihubungkan dengan kerja. Berbeda bila perguruan tinggi tempat menimba ilmu. Ada ilmu agama, kependidikan, kesehatan, fisika, kimia, matematika, komputer, sosial ekonomi, politik, dsb. Semakin banyak ilmu semakin baik.

Selain itu juga membentuk karakter, adab, akhlak, budi pekerti, dan berwawasan tinggi. Bisa saja kompetensinya lemah, namun ilmu yang lain justru menonjol.

Tak heran ada lulusan pendidikan justru piawai bidang lingkungan hidup. Ada kawan saya soalnya. Ada lulusan agama, justru jago IT. Ada lulusan matematika, malah jadi wartawan.

Banyak lagi gelar yang didapat tak sesuai dengan kerjanya. Tidak linear. Melihat fakta ini, saya tak setuju istilah useless generation. Sebab, setiap manusia memiliki takdirnya masing-masing.

Takdirnya itu pasti memberikan manfaat bagi orang lain. Tinggal dari sudut mana lagi memandangnya. Bisa saja orang menurut kita useless, tapi di sisi lain memberi manfaat.

Orang jahat sekalipun pasti memiliki sisi baiknya. Begitu juga orang yang kita anggap hebat, esoknya malah ditangkap KPK.

#camanewak


Like it? Share with your friends!