FOTO : Silfester [ ist ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
KORUPTOR yang susah payah dijebloskan ke penjara, ujungnya diampuni. Nah, ini lain lagi. Tersangka penghina Wapres, hukumnya sudah inkrah, malah diangkat jadi komisaris.
Mari kita kenalan dengan sang komisaris yang mungkin sedang ngopi sekarang.
Dari Ende, Flores, lahirlah seorang manusia luar biasa yang namanya kini digumamkan dengan takzim oleh meja-meja rapat, warkop pinggir jalan, dan ruang sidang yang merindukan eksekusi. Silfester Matutina.
Bukan sekadar manusia biasa, tapi semacam manifestasi dari keajaiban birokrasi Nusantara. Lihat saja CV-nya, kalau dibaca cepat, kita akan menyangka ini profil tokoh Marvel versi BUMN. Lulusan S1 Hukum dari Universitas Wiraswasta Indonesia, kampus yang begitu visioner sampai izinnya dicabut pada 2023 karena dianggap terlalu revolusioner dalam konsep kuliah fiktif dan jual beli ijazah.
Lalu lanjut S2 di Universitas Krisnadwipayana, demi mempertebal aura legal formal seorang pendekar hukum rakyat.
Ia memimpin kantor hukum sendiri sejak 2008, menguasai tambang dan logistik, dan sempat memegang tampuk kepemimpinan di media daring Solmetnews.com, tentu demi menyebarkan kebenaran yang sesuai dengan irama hati dan sponsor. Tapi prestasi terbesar Silfester adalah bukan sekadar mendirikan bisnis, bukan pula membela klien.
Prestasi terbesarnya adalah… berhasil jadi komisaris BUMN meskipun statusnya terpidana inkrah 1,5 tahun karena mencemarkan nama baik Jusuf Kalla. Sebuah pencapaian langka yang tak bisa diraih oleh rakyat biasa kecuali dengan kutukan, keberuntungan, atau koneksi langit.
Kita ulang, vonis sudah inkrah sejak 2019. Ya, bukan baru kemarin sore. Tapi Silfester tetap melenggang, berdebat di TV, menyerang oposisi, bahkan tampil sebagai wakil ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo–Gibran di Pilpres 2024.
Lalu puncaknya, diangkat jadi Komisaris Independen di ID Food (PT Rajawali Nusantara Indonesia) sejak April 2025. Coba tanya anak hukum semester satu, ini pasti akan masuk buku dongeng modern, “Tersangka yang Naik Tahta”.
Ia bahkan terlibat dalam drama kolosal nasional, Polemik Ijazah Palsu Jokowi. Tapi Silfester tak menyerang. Ia membela Jokowi mati-matian, menyebut tuduhan itu tidak ilmiah, gagal total, dan seperti biasanya, menggiring narasi dengan suara lantang seperti pahlawan dari semesta lain. Di Polda Metro, ia dicecar 46 pertanyaan, tapi keluar tetap gagah, tak satupun kancing bajunya copot.
Silfester juga dikenal karena gaya bicara tajam seperti parang cudik, tapi tak melukai kekuasaan. Ia pernah berseteru dengan Roy Suryo dan Rocky Gerung di debat TV. Bahkan sempat melontarkan makian, menyerang verbal, dan tetap lolos dari segala bentuk sanksi etis. Entah dia pakai jimat atau memang hukum sedang liburan panjang.
Kini, Kejaksaan akhirnya angkat bicara. “Eksekusi harus jalan,” kata mereka. Tapi suara itu seperti bisikan kecil di tengah konser heavy metal politik. Silfester santai, bahkan bilang sudah damai dengan JK. Damai versi elite, tentu. Versi rakyat? Tak penting.
Apakah kita hidup dalam realitas yang sama? Apakah ini semua hanya mimpi buruk berkepanjangan dari rakyat yang kebanyakan makan mie instan dan percaya hukum masih lurus? Entahlah.
Yang jelas, Silfester telah membuka jalan. Jalan menuju bab baru filsafat hukum, bahwa keadilan bisa menunggu, asal kau punya suara lantang, koneksi kuat, dan segenggam narasi untuk dilambungkan ke langit.
Maka, wahai rakyat kecil, jangan kecil hati. Bila nuan dihukum, jangan langsung menyerah. Lihat Silfester, ia tak hanya selamat, ia naik pangkat.
Indonesia bukan gagal hukum. Indonesia sedang menciptakan genre baru, Komedi Hukum Epik. Silfester adalah tokoh utamanya.
“Bang, kalau pun nanti ditangkap jaksa, ujungnya diampuni.”
“Bisa jadi, wak. Ya, udahlah, kita ngopi tanpa gula aja, pahit tapi nikmat.”
#camenewak