Darah, Rest Area, dan Kopi Pahit


Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

WAK Dalek dan Wan Dolah malam mingguan. Kali ini mereka ngopi di pojokan Kafe Kopikoe Jalan Soeprapto, Pontianak.

Sebuah tempat yang, menurut brosurnya, menjual kopi dengan biji pilihan. Namun di lidah mereka, kopi pancong lebih nikmat. Tapi apa boleh buat, gengsi kadang lebih penting dari rasa.

Mereka sudah tua, pensiunan dari kantor pemerintah, dan hari-hari mereka dihabiskan dengan berbicara. Tentang politik, tentang korupsi, tentang dunia yang makin lama makin kacau.

“Kau dengar berita soal bos rental mobil itu?” Wak Dalek membuka percakapan, menyeruput kopi yang, sialnya, terlalu panas. Bibirnya meringis, tapi matanya tajam, seperti mengiris sesuatu yang tak kasatmata.

Wan Dolah menaruh cangkirnya perlahan, tatapannya kosong. “Oh, yang ditembak itu? Yang di rest area?”

“Ya. Itu,” Wak Dalek mendesah panjang. “Bayangkan, di negeri kita ini, orang mati seperti ayam di jalan. Ditembak begitu saja. Di rest area pula, tempat yang harusnya aman. Kau tahu, aku mulai curiga, mungkin jalan tol ini sebenarnya adalah kuburan besar yang dipoles dengan aspal.”

Wan Dolah tersenyum tipis, tapi bukan senyum bahagia. “Kuburan? Salah kau. Jalan tol itu altar. Tempat rakyat berkorban untuk sesuatu yang entah apa. Pajak sudah dibayar, nyawa pun ikut disumbang.”

“Dan pelakunya…” Wak Dalek menghentikan kalimatnya, menunggu respons.

Wan Dolah menghela napas. “Ah, kau tak perlu bilang. Sudah pasti oknum. Aku bosan dengar kata itu. Setiap ada kejahatan, setiap ada kebrutalan, selalu oknum.

Seolah pelaku itu muncul dari tanah liat, tak punya hubungan dengan institusi mana pun. Aku rasa kalau kita gali tanah di rest area itu, mungkin ada kuburan massal para korban oknum.”

Kopi mereka mendingin, tapi pembicaraan semakin panas. Wak Dalek melipat tangannya di meja, menatap tajam ke arah jendela. “Kau tahu apa yang membuatku muak, Dolah? Orang itu sempat pergi ke polsek sebelum ditembak. Minta bantuan.

Tapi yang dia dapat? Pertanyaan soal surat-surat mobil! Apa kita sekarang hidup di negeri di mana nyawa manusia hanya dihargai dengan dokumen? Kalau kau tak bawa KTP, SIM, atau STNK, maka kau layak ditembak?”

Wan Dolah menggeleng, tangannya gemetar. “Itu bukan negeri, Wak. Itu kebun binatang. Hanya saja, binatangnya memegang senjata dan berseragam.”

Wak Dalek tertawa getir. “Panglima TNI? Katanya hukum akan ditegakkan. Katanya pelaku akan diproses. Katanya kalau terbukti bersalah, akan dihukum tegas. Aku bosan, Dolah.

Kata-kata itu sudah seperti mantra, diulang-ulang setiap kali ada kasus seperti ini. Seolah rakyat itu anak kecil yang bisa ditenangkan dengan janji-janji kosong.”

“Kau tahu apa yang lebih ironis, Wak?” Wan Dolah mencondongkan tubuhnya, berbisik seperti menyampaikan rahasia besar.

“Kejadiannya di rest area. Tempat orang berhenti untuk istirahat. Tempat yang harusnya aman, nyaman, jauh dari bahaya. Tapi di negeri ini, bahkan tempat istirahat pun bisa menjadi tempat pembantaian.”

Wak Dalek mengangguk. “Rest area itu seperti metafora, Dolah. Kita semua, rakyat kecil ini, sedang berhenti di sana. Menunggu nasib. Dan peluru? Peluru itu adalah kebijakan, sistem, dan orang-orang berkuasa yang tak peduli.

Setiap hari, ada saja yang ditembak. Hanya saja, tidak semua berita masuk koran.”

“Kopi ini terlalu pahit, Wak,” Wan Dolah menatap cangkirnya dengan jijik.

“Bukan kopinya yang pahit, Dolah. Hidup ini yang pahit.” Wak Dalek berdiri, mengambil dompetnya. “Ayo, Dolah. Mari kita pergi sebelum peluru lain terbang ke arah kita. Di negeri ini, duduk dan berbicara pun bisa menjadi alasan untuk mati.”

Mereka meninggalkan Kafe Kopikoe, meninggalkan cangkir kopi yang sudah dingin, meninggalkan negeri yang semakin kehilangan rasanya.

#camanewak


Like it? Share with your friends!