FOTO : Ilustrasi orang bertengkar [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
INI benar-benar absurd, wak. Ribut tetangga komplek tapi merembet ribut nasional. Awalnya saya tak ngeh, tapi selalu muncul di beranda.
Yang suka keributan, sini ngumpul, kita bahas soak ribut tetangga di Malang ini. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak!
Konon, dahulu kala, filsuf besar Yunani pernah berkata, “Tetangga adalah cermin kehidupan.” Sayangnya, di Malang, cermin itu retak, jatuh, lalu diperebutkan rame-rame sampai trending nasional. Semua berawal dari sesuatu yang sangat sederhana, ribut tetangga.
Tapi entah bagaimana, tiba-tiba kita semua diundang nonton episode sinetron dengan judul “Yai Mim vs Sahara: The Battle of Joyogrand”, lengkap dengan cameo wali kota, aparat, kampus, dan segenap netizen se-nusantara yang mendadak jadi juri agung moral bangsa.
Pertanyaannya, apakah negeri ini sudah kehabisan isu nasional? Harga beras? Kurs rupiah? Korupsi? Krisis global? Semua kalah penting dibandingkan drama ban tetangga dikempesin. Negara seperti berhenti berputar, menunggu ending, siapa yang salah, siapa yang benar, dan siapa yang paling jago guling-guling di tanah sambil viral.
Lihatlah betapa absurdnya. Kampus terhormat, UIN Malang, sampai menurunkan Tim Penegakan Disiplin ASN, hanya gara-gara satu dosen ribut di grup WA RT. Bayangkan, wak!
Tim Disiplin ASN seharusnya mengurus yang berat-berat, korupsi, plagiat, mark up penelitian. Eh, ini malah sibuk ngulik, “Apakah benar Pak Dosen pernah mengirim foto tak senonoh di grup perumahan?” Filsafat tetangga langsung naik kelas jadi filsafat negara.
Wali kota pun ikut turun tangan, bersiap menjadi dalang mediasi. Mungkin beliau berpikir, kalau bisa mendamaikan tetangga ribut, otomatis bisa mendamaikan Palestina–Israel. Sayang, pihak Yai Mim tidak datang. Katanya beliau lagi di Jakarta. Mediasi pun bubar.
Absurdnya, warga bertanya-tanya: “Kenapa nggak hadir?” Jawaban paling filsafati tentu, karena konflik tetangga harus diselesaikan bukan di teras rumah, melainkan di Pengadilan Negeri, biar semua tahu ini bukan sekadar sengketa pagar, tapi epik peradaban.
Benar saja, Yai Mim memilih jalur hukum. Ia bilang, tuduhan itu fitnah. Ia korban bully massal. Nama baik harus dipulihkan, bukan hanya di depan warga, tapi di depan negara, bahkan dunia. Jika perlu, persidangan ini disiarkan live streaming dengan komentator bola,
“Ya ampun, Pak Hakim, lihat tuh tetangga Sahara maju menyerang, tapi diblok Yai Mim dengan pasal 310 KUHP! Luar biasa teknik bertahannya!”
Yang lebih lucu, warga lain ikut menulis surat pengusiran, “Mohon dijual rumahnya dan silakan angkat kaki dari lingkungan.” Ini seperti audisi Indonesian Idol, tapi versinya Indonesian Neighbor, kalau nggak cocok, “Anda tidak lolos ke babak berikutnya.”
Netizen? Oh, jangan ditanya. Ada yang bela Yai Mim sebagai korban konspirasi tetangga iri. Ada yang bela Sahara sebagai pejuang kebenaran yang dizalimi. Ada pula yang cuma nonton demi hiburan gratis, sambil komen, “Mantap, sinetron real life lebih seru dari drama Korea.”
Mari kita jujur. Semua ini, kalau dibaca ulang, seperti fabel absurd, tetangga berseteru, kampus terlibat, wali kota mau damai, netizen bersorak. Negeri sebesar ini, tapi fokusnya ambruk hanya gara-gara sengketa kavling dan ban mobil. Ini bukan sekadar masalah perumahan, ini adalah Teori Relativitas Bertetangga, bahwa ketika satu pagar bergeser, seluruh jagat media sosial ikut berguncang.
Maka, wahai followers budiman, jika kelak nuan bertengkar dengan tetangga karena pohon mangga masuk ke halaman, berhati-hatilah. Bisa jadi bukan hanya RT/RW yang ikut campur, tapi juga kampus, wali kota, polisi, dan FYP di Tiktok.
Bahkan, kalau sial, masalah pian bisa naik ke Mahkamah Konstitusi. Karena di negeri ini, drama bertetangga tidak pernah berhenti di pagar, selalu menyeberang sampai ke panggung nasional.
Filsafat terakhir untuk direnungkan, “Berbuat baiklah pada tetanggamu, sebab siapa tahu, tetanggamu lebih berkuasa dari trending topic.”
#camanewak