Sofa, Langit-langit, dan Kesedihan


Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

SEBUAH foto misterius menyambar perhatian warga Kalimantan Barat. Tidak ada aksi. Tidak ada kata-kata. Hanya seorang pria paruh baya, duduk tenang di sofa empuk.

Yang membuat semua terpaku, arah pandangannya. Ke langit-langit. Bukan menantang plafon, tetapi menatapnya seperti seorang filsuf yang baru menyadari bahwa keberadaan paku-paku di atas kepala menyimbolkan beratnya hidup.

Foto ini segera menjelma sebagai bahan meme. “Ini bapak lagi nyari arti hidup di plafon,” tulis seorang warganet. Yang lain tidak kalah nyinyir, “Lagi ngitung laba-laba, biar tahu siapa yang lebih gigih bekerja.” Tetapi ada juga yang lebih filosofis, “Mungkin dia hanya bertanya, mengapa langit-langit selalu diam, meski tahu segalanya?”

Pria dalam foto itu menjadi simbol universal. Antara pasrah dan nelangsa. Meme-meme sedih ini menjamur. Beberapa bahkan membuat foto ini diubah menjadi poster motivasi dengan caption seperti, “Ketika plafon lebih bisa diandalkan dari pada teman.”

Tentu, plafon di sini tidak bisa disalahkan. Ia hanya diam. Seperti semua benda mati lainnya, ia tak pernah meminta untuk menjadi pusat perhatian.

Namun, dalam diamnya, ia memancarkan energi. Langit-langit menjadi metafora. Tempat orang-orang melarikan diri ketika dinding terlalu sesak untuk dipandang.

Entah siapa pria ini, tetapi satu hal pasti, ia berhasil menginspirasi. Dengan cara yang tidak pernah ia rencanakan. Kini, sofa empuk itu tidak hanya menopang tubuh, tetapi juga menanggung beban hati warganet.

Apakah pria ini sedang memikirkan harga cabai? Cicilan rumah? Jalan yang hancur? Pemekaran provinsi? Atau rahasia besar alam semesta yang belum terungkap? Kita tidak tahu.

Yang kita tahu, dari sorotan matanya ke plafon, dunia ini, meski penuh dengan meme, tetap butuh tempat sepi untuk merenung. Merenung atas apa yang ternah diucapkan, dilakukan, diisyaratkan.


Like it? Share with your friends!