60 Usaha Tersisa 8

FOTO : Dr. Rosadi Jamani (ist)

Oleh : Ketua Satupena Kalimantan Barat, Dr. Rosadi Jamani

SAAT mau cuci mobil, tak sengaja bertemu Rizal Hamka, seorang pengusaha muda Kalbar. Saya tahu ia seorang distributor buku, pengusaha properti, kafe, dan warung kopi.

Anak muda yang tajir. Lama tak bersua dengan beliau. Terakhir ketemu saat ia menerbitkan buku saya berjudul “Menginternasional Kalimantan Barat” tahun 2017 lalu.

Cukup lama, begitu ketemu langsung ngopi dan ngerumpi.

Setelah ngalor-ngidul, tiba saatnya saya bertanya. “Saya biasa diskusi dengan istri, kita punya uang, kira-kira mau buka usaha, usaha apa ya? Pertanyaan itu sampai sekarang belum terjawab.

Mungkin ente sebagai pengusaha bisa jawab, usaha apa yang bagus saat ini.”

Rizal tersenyum. Sebelum menjawab, seruput kopi dulu. “Gini, Bang. Abang masih ngajar ya. Istri masih kerja juga kan.

Kalau mau buka usaha, sebaiknya jangan dululah. Kecuali, tak lagi ngajar. Karena, kalau mau buka usaha, kunci utamanya, fokus. Tak bisa nyambi atau dalam bahasa Melayu, rambang,” jawabnya.

“Abang tahu sudah berapa usaha yang saya dirikan, ada 60 usaha. Yang eksis tinggal 8 saja. Dunia saya memang usaha, fokus buat usaha. Kalau tak menguntungkan, ganti usaha lain.

Sungguh pun fokus dalam dunia usaha, tetap saja ada yang bangkrut. Apalagi tidak fokus. Jadi, kunci utamanya, fokus untuk usaha,” jelasnya.

Selebihnya, mental bisnis. Sebab, kebanyakan orang kita tak dilatih dari kecil untuk buat usaha, dagang. Tiba-tiba sudah tua mau buat usaha. Begitu lihat dagangan sepi, mulai lemas, dan akhirnya tutup.

Padahal, itu bagian dari proses, melatih mental. Berbeda dengan orang Tionghoa, dari kecil sudah dilatih dagang. Mental bisnis mereka dibentuk dari kecil. Wajar apabila soal dagang, orang Tionghoa jago bangat. Mereka fokus dan mental dagang sudah teruji.

“Lalu, sebaiknya gimana?” tanya saya. Rizal menjawab, kalau mau usaha dari rumah dulu. Yang tak ada sewanya. Bisa jualan secara online.

Kelola aja dulu walaupun nyambi. Bila menguntungkan, mulai berpikir mengembangkannya, mulai fokus. Kalau pun rugi, ya tak terlalu besar. Mau lebih kecil risiko, bercocok tananam di depan rumah.

“Selain mental, dunia usaha itu berproses, tak bisa ujuk-ujuk langsung sukses. Pasti banyak kendala dan hambatan, yakinlah itu bagian dari proses.

Keuntungannya kita mulai membentuk jaringan dan ekosistem usaha. Ini yang mahal. Gitu sih, Bang,” jawab pria kelahiran Sungai Kunyit Mempawah ini.

Orientasi dosen dan pengusaha sangat berbeda ya. Dosen fokus menularkan ilmu. Setiap bulan nerima gaji, mikirkan naik pangkat, disibukkan bagaimana tulisan ilmiah terbit di jurnal internasional, ngajar, dan PKM.

Bila ini dilakukan serius, tak ada waktu buka usaha. Sepertinya sangat berat beralih orientasi ke dunia bisnis. Pasti tidak fokus. Kecuali, sudah punya asisten yang bisa memanajerial usaha itu.

Orientasi pengusaha, setiap momen adalah peluang. Di balik peluang itu ada uang. Otaknya setiap hari bekerja bagaimana menghasilkan uang sebanyak mungkin.

Pikirannya terus diporsir agar usaha tidak bangkrut. Usaha yang ada bagaimana terus berkembang semakin besar. Begitu orientasi utamanya.

Sebuah diskusi antara dosen dan pengusaha. Beda orientasi dan profesi. Tujuannya sama, sama ingin mencerdaskan dan memberdayakan anak bangsa. Kalau diskusi dengan politisi pasti beda lagi orientasinya.

Setiap hari yang dipikirkan bagaimana cara merebut simpati rakyat. Kalau politisi pasti lebih rumit lagi, karena ia berhadapan dengan rakyat dengan sejuta aspirasi.

Apa resolusi di tahun baru 2024? Tulisan ini yang terakhir di tahun 2023. Dalam hitungan jam, memasuki tahun baru 2024. Begitu masuk langsung dihadapkan dengan panas politik.

Januari 2024 masa kampanye putaran terakhir. Ibarat sepeda motor masuk gigi empat. Para politisi akan mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk merebut simpati pemilih.

Orientasinya, bagaimana bisa terpilih. Berbagai macam cara akan mereka lakukan demi bisa berkuasa atau duduk di kursi dewan.

Seperti apa pilihan dosen dan pengusaha? Dosen itu kaum intelektual. Ia akan memilih berdasarkan portopolio capres atau caleg.

Tak bisa dipengaruhi dengan uang atau materi. Kalau pengusaha, ia akan memilih berdasarkan keuntungan. Apa untungnya memilih capres A dan caleg B.

Kalau mengungtungkan dunia usahanya, ia akan jatuhkan pilihan. Analisisnya pasti soal kestabilan ekonomi, keamanan usaha, pajak, upah murah, tidak ada pungli. Bila ada capres komitmen soal itu, ia akan pilih.

Ups, jadi ngelantur pula. Baiklah wak, karena bentar lagi pergantian tahun, saya ucapkan selamat tahun baru 2024.

Apabila ada kata-kata salah atau menyinggung perasaan, mohon maaf ya. Tahun 2024 tetap menulis. Karena, tulisan adalah sebuah keabadian.

#camanewak