FOTO : Ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalbar ]
PRABOWO berani menolak bantuan luar negeri. Keberanian Prabowo ini ditiru Bupati Samosir. Sebagai alumni UGM, ia berani menolak bantuan perusahaan yang diduga milik Luhut Binsar Panjaitan.
Luar biasa. Simak ulasannya sambil seruput Koptagul, lae!
Di tengah reruntuhan longsor dan banjir yang melanda Samosir, saat banyak pejabat sibuk mencari kamera untuk tampil heroik sambil membagikan mie instan, satu sosok justru memilih jalan sunyi, Vandiko Timotius Gultom.
Bupati termuda dalam sejarah Samosir ini bukan hanya lulusan Teknik Sipil UGM dan Master of Engineering dari University of Melbourne, tapi juga lulusan fakultas keberanian tingkat dewa.
Dalam dunia politik yang penuh basa-basi dan amplop bersayap, Vandiko justru menolak bantuan dari perusahaan yang dituding merusak lingkungan. Termasuk PT Toba Pulp Lestari (TPL), perusahaan yang oleh netizen sudah lama dicap sebagai “anak emas” oligarki.
Dengan Surat Edaran Nomor 23 Tahun 2025, Vandiko menyatakan, Pemerintah Kabupaten Samosir tidak akan menerima bantuan dari perusahaan yang aktivitasnya merusak lingkungan. Ini bukan sekadar surat edaran. Ini deklarasi perang terhadap budaya “asal ada bantuan, tutup mata.” Di negeri yang sering bingung membedakan antara CSR dan cuci dosa.
TPL, perusahaan yang punya sejarah panjang dalam eksploitasi kawasan Danau Toba, langsung jadi sorotan. Netizen, dengan semangat investigatif setara detektif Sherlock Holmes dan kemampuan mengait-ngaitkan yang tak tertandingi, langsung menyeret nama Luhut Binsar Pandjaitan.
Alasannya? Karena Luhut pernah mendirikan PT Toba Sejahtra, dan Toba Sejahtra dulu punya saham di TPL. Karena semua nama itu mengandung kata “Toba,” maka kesimpulannya, “TPL = Toba Sejahtra = Luhut.” Logika ini setara dengan menyimpulkan, semua orang bernama Aura Cinta pasti satu sosialita.
Pihak Luhut, tentu saja, langsung membantah. Juru bicaranya, Jodi Mahardi, menyatakan dengan nada seputih kapas, Pak Luhut “tidak memiliki, tidak terafiliasi, dan tidak terlibat dalam bentuk apa pun dengan TPL.” Tapi netizen tetap ngeyel. Mereka menggali jejak digital, menyusun bagan koneksi, dan membuat teori yang kalau dijadikan serial bisa tayang tiga musim di Netflix.
Sementara itu, Vandiko tetap tenang. Ia tidak goyah meski diserang dari berbagai sisi. Bahkan HKBP, gereja terbesar di Tanah Batak, ikut mendukung langkahnya. Mereka bilang, “Kami juga tidak mau menerima bantuan dari perusahaan yang merusak lingkungan.” Ini bukan lagi drama lokal. Ini sudah jadi opera geopolitik dengan bumbu ekoteologi dan soundtrack gondang Batak.
Di tengah semua ini, publik teringat pada pernyataan legendaris Hasyim Djojohadikusumo. “Prabowo tidak punya satu hektare pun lahan sawit.” Pernyataan yang begitu murni, sampai-sampai satu hektare sawit pun merasa malu untuk mengaku.
Padahal, data publik menunjukkan Prabowo menguasai lahan HGU ratusan ribu hektare lewat PT Tusam Hutani Lestari. Tapi tenang, itu bukan sawit. Itu hutan tanaman industri. So, secara teknis, Hasyim tidak bohong. Ia hanya bermain di wilayah metafisika agraria.
Begitulah, di negeri yang sering bingung membedakan antara “bantuan” dan “penebusan dosa,” Vandiko memilih berdiri tegak. Ia menolak sogokan berkedok bantuan, menolak narasi “asal selamatkan rakyat, tak peduli siapa yang bantu.” Ia tahu, kadang yang paling beracun bukan limbah pabrik, tapi narasi yang dibungkus rapi dalam foto seremonial dan spanduk bertuliskan “Peduli Bencana.”
Di akhir zaman, mungkin yang kita butuhkan bukan satu hektare sawit, tapi satu bupati yang tidak bisa dibeli. Itu, ternyata, masih tumbuh di Samosir.
“Sangat berani beliau. Semoga tidak di OTT saja, bang.”
“Semoga tidak lah. Bupati berani itu sedikit, tapi yang penakut bejibun, wak.” Ups
#camanewak
#jurnalismeyangmenyapa
#JYM
