Oleh : Rosadi Jamani [Ketua Satupena Kalimantan Barat]
DI SEBUAH AULA KECIL, cahaya lampu gantung menyilaukan, menggantungkan mimpi-mimpi yang tak semua orang bisa capai. Di bawahnya, tiga keluarga duduk.
Tiga keluarga dengan nasib berbeda, duduk dalam senyap penuh arti. Ketiga pasangan itu baru saja mengikuti Pilkada di Provinsi Sentibar, negeri di garis khatulistiwa.
Pasangan suami istri, Hersan dan Ruslina. Hersan baru saja mengikuti Pilgub Sentibar. Sedangkan Ruslina mengikuti Pilkada Mensemah. Pasutri ini sama-sama menang.
“Ma, kita menang,” bisik Hersan, suaranya serak penuh keharuan.
Ruslina tak menjawab. Matanya berkaca, tangannya gemetar menggenggam secarik kertas hasil Pilkada. Ia mendesah panjang.
“Orang-orang bilang kita ambisius, Pa. Suami gubernur, istri bupati. Tapi… aku hanya ingin membuktikan, perempuan juga bisa.”
Hersan tersenyum kecil.
“Kita ini bukan ambisius, Ma. Kita ini nekad. Tapi lihatlah, Provinsi Sentibar akan kita bangun bersama. Kau di Mensemah, aku di sini.
“Ruslina menunduk, lalu mencium tangan suaminya. “Aku takut.”
“Apa yang kau takutkan?” “Takut… ini cuma euforia. Bagaimana kalau kita tak mampu?”
“Jangan khawatir. Kalau gagal, kita punya satu sama lain. Selama kita satu tim, tak ada yang tak mungkin.”
Mereka berpelukan. Bahagia.
Di sudut lain, pasangan Nuda Irawan dan Rosalini juga terlibat obrolan. Nuda baru saja mengikuti Pilgub Sentibar. Sedangkan istrinya mengikuti Pilkada Ulu Raya.
Nuda menghela napas panjang. Di depannya, Rosalini menggenggam sebatang pena, mengetuk-ngetukkannya ke meja.
“Kenapa kita kalah, Bang?” tanyanya lirih.
“Karena tak semua perjuangan berakhir dengan kemenangan, Ros.
Mungkin ini waktunya kita belajar dari kekalahan,” jawab Nuda, tanpa menatap istrinya.
“Aku tak butuh belajar, Bang. Aku butuh menang!” Rosalini meledak, membanting pena hingga terpecah.
Nuda menggeleng. “Lihatlah mereka, Hersan dan Ruslina. Mereka menang karena solid. Kau tahu apa masalah kita, Ros?”
“Apa?”
“Kau sibuk mencari musuh, aku sibuk mencari celah. Kita lupa tujuan.”
Rosalini terdiam.
Air mata mulai menetes. “Aku ingin membahagiakanmu, Bang. Aku hanya ingin kita jadi pasangan hebat.”
“Kita sudah hebat, Ros. Hanya saja, tak semua kehebatan harus diumumkan lewat kursi kekuasaan. Kita masih punya waktu untuk membangun apa yang kita bisa, di luar panggung ini.”
Rosalini tersedu. Nuda menggenggam tangannya. Kekalahan tak berarti akhir segalanya.
Masih di aula itu, juga ada dua bersaudara sedang meratapi nasibnya. Sumarji dan Mulyono. Sumarji baru saja mengikuti Pilgub Sentibar. Sedangkan Mulyono mengikuti Pilwako Buntianak. Dua bersaudara ini sama-sama kalah.
Sumarji, pria paruh baya dengan kumis tebal, duduk memandangi adiknya, Mulyono. Di antara mereka ada dua gelas kopi yang sudah dingin.
“Bang, kita gagal.” Mulyono akhirnya membuka suara.
Malam itu, aula kecil itu menjadi saksi. Kebahagiaan, kekalahan, dan introspeksi bersanding seperti pelangi dalam hujan. Bagi Hersan dan Ruslina, panggung adalah awal.
Bagi Nuda dan Rosalini, panggung adalah pelajaran. Bagi Sumarji dan Mulyono, panggung adalah pengingat bahwa kemenangan terbesar adalah menemukan diri sendiri.