Soal Tuntutan Warga Sungai Enau, SSL PT BPK : HGU Kami Hingga 2026

POTO : Supervisor Social Security dan License (SSL) PT BPK Wilmar Group, Muhammad Taufik (Zenta)

radarkalbar.com, KUBU RAYA – Manajemen PT Bumipratama Khatulistiwa (BPK) angkat bicara, terkait tuntutan warga Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kubu Raya yang menuntut perusahaan tersebut untuk mengembalikan tanah mereka, karena dianggap waktu pemakaian telah habis pada tahun 2021.

Dimana tuntutan warga tersebut, yang berujung dengan aksi unjuk rasa berlangsung di Gedung DPRD Provinsi Kalbar pada Senin (28/6/2021) lalu.

Supervisor Social Security dan License (SSL) PT BPK Wilmar Group, Muhammad Taufik mengatakan tuduhan masyarakat itu sangat tidak berdasar karena perusahaan tersebut mengantongi izin penggunaan lahan hingga tahun 2026. Kemudian, izin perusahaan itu dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, karena tercantum dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 18/HGU/BPN/96 tentang Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT Bumi Pratama Khatulistiwa.

“Kita menilai aksi unjuk rasa masyarakat sangat tidak tepat dilakukan karena pada dasarnya BPK mempunyai izin HGU yang merupakan produk pemerintah. Harusnya hal ini dihormati masyarakat, sebab izin berlaku 30 tahun, yang artinya berakhir di 2026. Artinya, BPK punya hak di atas HGU tersebut untuk operasional,” tegasnya, saat dijumpai di Kubu Raya, Selasa (29/6/2021).

Menurut Taufik, pemikiran selama ini yang disampaikan oknum yang mempersalahkan BPK adalah bahwa HGU kalau sudah berakhir (izin pemakaian lahan), itu dikembalikan kepada mereka. Kemudian, jika mau diperpanjang, dibayar kembali.

“Hal ini tidak tepat. Karena aturannya, di mana jika perizinan itu habis, bisa dikembalikan kepada negara. Kalaupun diperpanjang, tidak ada ganti rugi lahan,” imbuh nya.

Taufik mengaku menyayangkan aksi unjuk rasa yang dilakukan masyarakat Sungai Enau. Menurutnya, persoalan tentang izin penggunaan lahan itu telah selesai pada tanggal 22 Maret 2021 silam. Tepatnya pada saat pertemuan antara PT BPK, BPN, dan masyarakat Sungai Enau di Ruang Komisi I DPRD Kalbar.

Masyarakat lanjutnya, telah menerima penjelasan dari BPN yang menyatakan bahwa izin penggunaan lahan oleh PT BPK berakhir pada tahun 2026. Pihak DPRD Kalbar juga disebutnya ikut memberikan arahan kepada masyarakat dalam pertemuan tersebut.

“Jika masalah HGU ini, masyarakat sudah pernah mengikuti pertemuan dengan DPRD Provinsi Kalbar pada tanggal 22 Maret 2021. Nah, saat itu dihadirkan perwakilan Kanwil BPN Provinsi Kalbar dan Kepala Kantor BPN Kubu Raya yang menyatakan benar bahwa HGU PT BPK berakhir pada tahun 2026 dengan masa berlaku 30 tahun. Lalu hadir juga pemerintah melalui DPRD Provinsi memberikan arahan kepada masyarakat bahwa ini aturannya sudah berlaku. Kan, jika perusahaan mau melakukan perpanjangan, selama lahan tidak ada masalah, maka dapat melakukan perpanjangan didukung dengan masyarakat setempay,”ungkapnya.

Ia menyambut baik upaya Pemkab Kubu Raya yang telah berinisiatif untuk memfasilitasi mediasi antara PT BPK dan masyarakat Sungai Enau. Ia berharap, mediasi yang rencananya akan dilangsungkan pada hari Rabu (30/6/2021) ini akan mendatangkan solusi konkrit. Tentunya, dengan pertemuan tersebut ada hasil, kemudian perusahaan pun sudah bisa kembali menjalankan aktivitas usaha setelah 18 hari terakhir berhenti beroperasi karena dihalangi oknum masyarakat setempat.

“Kita berterima kasih Pemkab Kubu Raya memfasilitasi pertemuan. Harapan kami, gangguan operasional selama belasan hari itu yang mengakibatkan perusahaannya merugi miliaran rupiah, sudah bisa teratasi. Dan operasional perusahaan telah kembali normal,” ungkapnya.

Diketahui, sebelumnya masyarakat Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, menggelar aksi unjuk rasa di gedung DPRD Provinsi Kalbar, Senin (28/6/2021).

Kedatangan warga ini, untuk menuntut PT. BPK Wilmar group untuk mengembalikan tanah mereka. Pasalnya, warga beranggapan masa waktu penggunaan lahan oleh perusahaan tersebut hingga tahun 2021 telah habis. Lantas warga juga menolak perpanjangan perjanjian, dan karena dinilai dibuat sepihak oleh perusahaan, tanpa sepengetahuan petani.

Pewarta : Zenta.