Oleh : Rosadi Jamani [Ketua Satupena Kalimantan Barat]
SELURUH menteri dipelonco ala militer di Akmil Magelang. Apakah sebagai isyarat, di bawah komando Prabowo, Indonesia masuk BRICS.
Bayangkan, Indonesia ibarat anak SMA yang tiba-tiba ingin masuk ke geng populer BRICS. Mulanya cuma ada “anak gaul” Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Sekarang, BRICS sudah jadi geng global yang makin keren dengan anggota tambahan, termasuk Timur Tengah, Ethiopia, dan sebentar lagi mungkin Indonesia.
Di bawah bayang-bayang ketat negara adidaya, Indonesia tampaknya merasa ikut BRICS adalah cara terbaik untuk menonjolkan “politik luar negeri bebas aktif”-nya. Yah, setidaknya bebas untuk “berteman dengan siapa saja” tanpa “tanda pengenal blok.”
Bayangkan BRICS adalah “klub anak keren” dengan misi mulia untuk menyaingi dominasi Amerika Serikat dan Eropa di lapangan ekonomi global. Tapi, bukankah kita sudah punya ASEAN? Atau G20? Nah, di sinilah bedanya.
BRICS bukan cuma klub regional atau forum ekonomi standar. Ini adalah “koalisi yang nggak ragu merangkul negara-negara yang lagi sakit hati sama kebijakan Barat,” terutama soal perdagangan dan kebijakan ekspor.
Indonesia melihat peluang besar di sini, melompat dari ketergantungan pasar tradisional (semisal AS dan Eropa yang sering “rese”) dan mencicipi kolam ekonomi yang lebih “ramah” tanpa terlalu banyak drama dagang.
Dengan bergabung ke BRICS, Indonesia punya akses langsung ke pasar yang tumbuh cepat di luar AS dan Eropa. Dalam angka, proporsi ekonomi BRICS yang dulu hanya 15% di tahun 1990 sekarang sudah mencapai 32%.
Sekarang bayangkan ekonomi Indonesia bisa ikut terkerek naik seiring dengan perluasan akses pasar, terutama di negara-negara yang “lebih paham” tantangan negara berkembang.
China, “kakak” besar di BRICS, sedang menghadapi tantangan ekonomi, dan prediksi pertumbuhannya sedikit melambat. Jika China “batuk”, kita semua tahu efeknya bisa terasa sampai ke Indonesia.
Ekonomi BRICS memang sedang berkembang pesat. Tapi, jangan lupa, jika salah langkah, kita bisa terjebak di dalam pergulatan ekonomi ala “keluarga besar” yang tidak selalu harmonis.
Nah, di sinilah ketegangan sesungguhnya. Jika Indonesia semakin mesra dengan BRICS, jangan kaget jika AS dan sekutunya mulai mengernyitkan dahi.
Apalagi jika calon presiden AS yang kontroversial seperti Donald Trump terpilih kembali, kita bisa melihat “trade war” yang tidak lagi cuma antara AS-China, tapi merambah ke “teman-teman mereka.” Indonesia mungkin harus siap menghadapi ancaman dari AS, yang bisa saja mulai membatasi fasilitas perdagangan dan bahkan menerapkan tarif tambahan.
Di tengah persaingan global, negara-negara BRICS bukanlah sekadar partner perdagangan, tetapi juga rival dalam beberapa aspek ekonomi.
Jika terjadi “kerenggangan” di dalam BRICS (misalnya soal dominasi China), Indonesia mungkin harus pandai-pandai bersiasat agar tetap “aman” dan tidak kebagian efek negatif dari kebijakan ekonomi yang lebih besar.
Ini ibarat ikut pesta besar, tapi kita harus tetap siap sedia menghindari drama kalau situasi memanas!
Dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS, perspektif ekonominya sedikit berubah. BRICS bisa menjadi platform bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam reformasi ekonomi global, khususnya di kawasan “Global South,” alias negara-negara berkembang.
Namun, dengan negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Iran ikut dalam aliansi ini, jangan harap semua pihak di BRICS akan “klop” dalam setiap hal.
Indonesia selalu membanggakan kebijakan luar negeri “bebas aktif” yang, dalam kasus ini, berarti “bebas temenan sama siapa aja, asal bisa nguntungin.” Lucunya, BRICS itu sudah jelas koalisi yang cukup “anti-Barat.” Sementara Indonesia tetap ingin terlihat netral di mata AS dan Eropa.
Bayangkan situasi ini di meja makan keluarga besar, kita duduk di antara para pemberontak sambil tetap mengirimkan undangan makan malam ke “pihak lain.” Dalam jangka panjang, sikap ini bisa menghadirkan dilema antara menjaga hubungan baik dengan negara Barat dan menyelaraskan visi dengan BRICS.
Bergabung ke BRICS memang terdengar menarik. Tetapi, apakah ini akan menjadi langkah berujung positif untuk perekonomian Indonesia? Kalau kita tidak hati-hati, bisa jadi kita hanya menjadi “penonton” di panggung global, atau lebih buruk lagi, menjadi pion dalam permainan kekuasaan yang lebih besar.
Indonesia memasuki BRICS dengan semangat “bebas aktif,” tapi bukankah akan ironis jika akhirnya kita terjebak dalam perang dagang dan konflik geopolitik yang jauh lebih besar? Aliansi ini mungkin menawarkan keuntungan jangka pendek, tapi mungkin kita juga harus bersiap menghadapi situasi kompleks yang datang bersama “keren”-nya BRICS.
#camanewak