Tundang Terakhir Seorang Maestro, Kalbar Berduka

FOTO : Ilustrasi [ Ai]

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

INNALILLAHI wa inna ilaihi rajiun. Dia telah tiada dengan meninggalkan warisan besar, tundang. Kalbar berduka. Sambil sarapan pagi di Hotel Vega Prima Sorong Papua Barat Daya, simak kisah sang maestro tundang sambil seruput kopi Senang tanpa gula, wak!

Malam itu, Sabtu, 25 Oktober 2025, sekitar pukul 19.30 WIB, Desa Sungai Burung di Mempawah terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin berhenti di antara pepohonan bakau, seolah ikut menahan napas.

Dari rumah sederhana di tepi sungai, kabar duka itu menyebar pelan tapi pasti, Bapak Edi Ibrahim bin H. Ahmad, yang dikenal luas dengan nama Eddy Tundang atau Usu Yem, telah berpulang ke rahmatullah.

Bagi sebagian orang muda sekarang, nama itu mungkin samar, tapi bagi mereka yang tumbuh di era TVRI Pontianak tanpa smart TV, wajahnya adalah bagian dari memori masa kecil. Setiap minggu, ia hadir di layar kaca, membawa rombongan seninya, menabuh gendang, melantunkan pantun.

Suaranya berat tapi hangat, nadanya jenaka tapi sarat makna. Ia memperkenalkan sesuatu yang dulu asing tapi kini menjadi ikon Kalimantan Barat, Tundang, kependekan dari Pantun Gendang atau Pantun Bergendang.

Tundang bukan sekadar hiburan. Ia adalah jembatan antara tradisi dan zaman. Dari tangan kreatif Eddy Ibrahim, pantun lama berubah menjadi pertunjukan yang hidup dan bernyawa. Di setiap dentuman gendang, ada nasihat, kritik sosial, sejarah, dan humor yang halus. Ia menciptakan seni yang mengajarkan tanpa menggurui, menasihati tanpa menyakiti.

Dari sinilah banyak orang kemudian meniru dan melestarikannya. Kini, Tundang telah menjadi lomba, mata lomba resmi di banyak sekolah dan festival, dari anak-anak hingga dewasa, sebuah warisan yang mengalir deras dari tangan sang maestro.

Di desanya, Eddy Ibrahim mendirikan Sanggar Pusaka, tempat anak-anak belajar menabuh gendang dan menata pantun. Dari situ lahirlah generasi penerus yang mencintai budaya sendiri. Ia tak berhenti di situ. Bersama Balai Bahasa Provinsi Kalbar, ia mengadakan safari pertunjukan dan pendidikan Tundang ke berbagai kabupaten/kota.

Ia bahkan membawa Tundang ke Taman Mini Indonesia Indah, tampil dalam ajang Borneo Exfloor Exotika di Jakarta, hingga ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura.

Pada tahun 2013, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM secara resmi mengakui dirinya sebagai pemegang hak cipta Tundang, sebuah penghormatan yang jarang diterima seniman daerah. Karya binaannya, Grup Kesenian Tundang Mayang, pernah meraih Juara 1 Nasional dalam Apresiasi Media Pertunjukan Rakyat di Bali.

Namun di balik semua itu, ia tetap rendah hati. Baginya, gendang hanyalah alat, pantun hanyalah medium, tapi pesan moral adalah tujuan. Ia pernah berkata, “Selama anak-anak masih bisa berpantun, maka Melayu tak akan hilang.” Kini, ucapan itu terasa seperti wasiat yang ditulis dengan dentuman gendang.

Kepergiannya adalah kehilangan besar, bukan hanya bagi keluarga dan masyarakat Desa Sungai Burung, tapi juga bagi dunia seni dan kebudayaan tanah Borneo. Ia telah pergi, namun jejak langkahnya menjelma gema panjang dalam ruang waktu, menjadi irama abadi yang menolak sunyi.

Tiga pantun untuk sang maestro:

Pukul gendang di tepi muara,
Dentumnya lembut mengiring doa,
Walau jasad telah tiada di dunia,
Suaramu hidup di hati bangsa.

Sungai Burung tempatmu berakar,
Di sanalah tunas budaya bertumbuh,
Namamu harum sepanjang dengar,
Tundangmu jadi sejarah yang utuh.

Mentari jatuh di langit Mempawah,
Langit bergetar, bumi berduka,
Selamat jalan maestro yang ramah,
Pantunmu abadi, selama-lamanya.

Ia mungkin telah diam, tapi setiap kali gendang dipukul dan pantun dilantunkan, kita tahu, itu suara Eddy Tundang yang masih hidup dalam setiap dentum budaya Melayu.

#camanewak

Share This Article
Exit mobile version