Menulis di Warkop Reot

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

KALAU kalian biasa membaca tulisan saya, selalu terselip warung kopi (warkop). Seruput kopi. Kopi tanpa gula. Kopi liberika. Tanda bahwa saya memang suka minum kopi.

Banyak tulisan saya lahir di warkop, di antara riuh suara pelanggan, denting sendok di gelas, dan obrolan penuh keluhan tentang hidup yang kian menekan.

Salah satu tempat favorit saya adalah warkop di Jalan Haruna, Pontianak. Jangan bayangkan warkop elite dengan sofa empuk dan barista sok ganteng yang meracik kopi pakai gelas ukur.

Ini warkop reot, meja kursinya miring, langit-langitnya bolong, dan asap rokok berputar tanpa ventilasi yang layak. Di sinilah saya mojok, mengintip dunia dari sudut yang sering kali diabaikan.

Pengunjungnya? Sebagian besar abang ojol, buruh harian, dan orang-orang kecil yang hidupnya kerap jadi statistik di lembar kebijakan, tapi jarang benar-benar didengar.

Mereka mampir ke sini bukan cari kemewahan, cukup segelas kopi hitam Rp 6.000 dan wifi gratis. Tak ada parkir, tak ada AC, tapi di sinilah denyut kehidupan terasa nyata.

Saya memilih tempat ini bukan karena kehabisan pilihan, tapi karena ingin mendengar suara mereka. Sekaligus merasakan sensasi menulis di tengah mereka yang berjuang tanpa suara.

Saya mengetik dengan HP butut, layar retak, batere cepat habis. Sementara di sebelah, seorang anak muda kaum OS (iPhone) sibuk selfie dengan caption puitis, seolah dunia menunggu kisahnya.

Tentu saya bukan siapa-siapa dibanding para penulis hebat Indonesia. Mereka menulis di tempat yang lebih mengerikan, bukan di warkop reot, tapi di balik jeruji besi dan pengasingan. Mereka tak sekadar merangkai kata, tapi menulis dengan darah, penderitaan, dan keberanian.

Indonesia punya sejarah panjang tentang penulis yang menolak tunduk. Mereka tak sekadar menulis untuk gaya-gayaan, tapi untuk melawan.

Sebut saja, penulis ternama, almarhum Pramoedya Ananta Toer. Pram menulis Tetralogi Buru di Pulau Buru, tanpa alat tulis, hanya mengandalkan ingatan. Ia membuktikan bahwa kata-kata lebih tajam dari pedang, lebih berbahaya dari senjata.

Pemerintah Orde Baru takut pada tulisannya, bukan karena ia memegang senapan, tapi karena ia menyuarakan kebenaran.

Ada Tan Malaka, pemikir yang dijadikan musuh. Ia hidup di pengasingan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menulis dengan nyawa sebagai taruhannya. Bukunya, Madilog, menjadi bacaan wajib bagi mereka yang ingin berpikir kritis. Ironisnya, ia yang berjuang untuk kemerdekaan justru dihabisi bangsanya sendiri.

Kemudian, Sutan Sjahrir, pejuang yang terlupakan. Sjahrir adalah pemikir tajam yang lebih suka diskusi dibanding angkat senjata. Tapi di negeri ini, intelektualisme sering kali dianggap ancaman. Ia dipenjara, dibungkam, hingga akhirnya meninggal dalam sunyi.

Kemudian, Chairil Anwar. Ia mati muda, abadi di kata-kata. Chairil tak menulis di penjara, tapi hidupnya penuh gelora. Puisinya, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi,” adalah simbol perlawanan. Ia mati muda, tapi kata-katanya tetap hidup, lebih lama dari rezim mana pun.

Kemudian, Buya Hamka. Beliau dipenjara tanpa pengadilan, tapi ia tak membalas dengan dendam. Ia justru menulis Tafsir Al-Azhar, menunjukkan bahwa pena bisa lebih beradab dari mereka yang menyalahgunakan kekuasaan.

Penulis yang masih hidup menjadi inspirasi saya, Gunawan Muhammad. Saya terkesan saat ia menulis menggunakan SMS di saat smartphone belum ada. Dahlan Iskan, mantan bigbos saya dulu. Sesibuk apapun, beliau tetap menulis. Ia seperti menyindir, ente hanya sibuk scroll Tiktok, satu paragraf pun tak bisa menulis.

Terakhir, Denny JA, Ketum Satupena saya. Di tengah kesibukannya, setiap hari ia hampir dipastikan menulis puisi essay dan dishare di grup. Ketua persatuan penulis, teladannya tak ada lain, ya tulisan.

Di negeri ini, menulis bisa membuatmu dipenjara. Kata-kata bisa membuatmu dicap pengkhianat, hanya karena berkata jujur. Bahkan sekarang, ketika kebebasan berekspresi katanya dijamin, banyak yang tetap memilih diam.

Takut kehilangan pekerjaan, takut dibungkam, takut jadi korban undang-undang karet.

Menulis itu berbahaya. Tapi justru karena itulah kita harus terus menulis. Jika tak bisa berjuang dengan senjata, berjuanglah dengan kata-kata.

Saya menulis di warkop reot, tapi bukan berarti suara saya reot. Saya menulis bukan untuk sekadar eksis, tapi karena kata-kata harus terus hidup. Jika para penulis besar dulu berani menulis meski nyawa mereka di ujung tanduk, apa alasan kita untuk diam?

Jika suatu hari saya tiba-tiba hilang, kalian tahu kenapa. Tapi selama masih ada kopi, warkop reot, dan HP butut saya, tulisan ini akan terus lahir. Sampai kapan pun.

#camanewak