Cerpen “Detik-detik Tujuh Koruptor Ngopi sebelum Ditangkap”

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

DI sudut kota yang hampir terlupakan, berdiri sebuah warung kopi tua yang nyaris roboh. Letaknya di pinggiran PIK Jakarta.

Dari luar terlihat reot, di dalamnya ada ruang rahasia.

Atapnya berlubang, dindingnya miring, dan meja-meja kayunya penuh noda kopi yang tak pernah benar-benar bersih. Siapa sangka, ruangan rahasia di bawahnya itu menjadi tempat tujuh pria berpakaian perlente berkumpul.

Di ruangan inilah mereka selalu merencanakan cara elegan menggarong uang rakyat secara elegan, tak tersentuh hukum.

Kepala geng, Riva Siahaan menyesap kopinya dengan santai. “Rp 193,7 triliun itu cuma angka di laporan. Kalau dikonversi ke loyang martabak, kita bisa nutupin Jakarta dari Monas sampai Bekasi.”

Sani Dinar Saifuddin tertawa kecil. Ia menyelonjorkan kaki ke kursi sebelah, tanpa peduli kalau kayunya nyaris patah. “Yang penting bukan jumlahnya, tapi siapa yang ngitung. Kalau auditor bisa disulap, angka bisa berubah. Dunia ini fana, Bro.”

Di sebelahnya, Yoki Firnandi mengepulkan asap rokok ke langit-langit warung yang sudah hitam legam. “Lu ingat mafia migas 2014? Kita ini cuma melanjutkan tradisi. Budaya harus dilestarikan.”

“Tapi kalau kena OTT gimana?” Agus Purwono mengetuk meja dengan sendok, tampak gelisah. “Gue nggak siap masuk sel tanpa Wi-Fi, cuy.”

Muhammad Kerry Andrianto Riza mengaduk kopi dengan sendok emas, iya, sendok emas, di warung kopi reyot ini. “Santai aja. Duit kita lebih banyak dari APBD satu provinsi. Kalau masuk, kita bisa bikin napi lain jadi anak buah.”

Dimas Werhaspati mencuri gorengan terakhir di piring dan nyengir ke Gading. “Lu pernah lihat koruptor kelas kita beneran menderita? Penjara itu cuma staycation versi hemat.”

Namun, Gading Ramadhan Joedo justru menepuk jidat. “Bro, staycation dari mana? Lu nggak lihat berita? Jaksa Agung Muda udah tanda tangan buat nendang kita ke sel!”

Mendadak, suasana berubah tegang. Gorengan jatuh dari tangan Dimas, rokok Yoki terlepas ke lantai, dan Riva menumpahkan kopinya ke meja.

Sani Dinar meneguk ludah. “Gue masih ada tabungan di Swiss. Kalau lari sekarang, keburu nggak ya?”

Agus Purwono melirik pintu belakang. “Gue usul kita kabur lewat sana.”

Muhammad Kerry mengangkat tangan. “Terlambat.”

Dari luar, suara derap sepatu boots menggema. Sekejap kemudian, pintu warung yang sudah setengah copot itu didobrak, dan belasan petugas Jampidsus menyerbu masuk.

Tujuh pria itu hanya bisa saling pandang. Selama bertahun-tahun, mereka terbiasa membeli segalanya, jabatan, kemewahan, bahkan diamnya hukum. Tapi kali ini, hukum berbicara lebih keras dari uang mereka.

Di warung kopi reyot itu, kisah mereka berakhir bukan dengan gelak tawa, tapi dengan borgol di pergelangan tangan.

#camanewak