Program Makan Bergizi Dari Susu Pujon ke Daun Kelor

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

KETIKA mendengar “makan bergizi gratis,” ekspektasi kita melambung tinggi.

Mungkin terbayang anak-anak sekolah mengantre rapi, menunggu sepiring makanan dengan susu segar berlabel “Made in Pujon” di tangan. Tapi kenyataan, seperti biasa, punya rasa humor yang luar biasa.

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, dengan tegas menyampaikan, tidak semua anak Indonesia berhak mendapatkan susu.

Alasan yang diberikan cukup logis sekaligus memancing alis naik. Susu hanya untuk daerah sentra sapi perah.

Jika sekolahmu berada di Pujon, Malang, atau daerah dengan sapi perah yang lebih banyak dari jumlah murid, selamat! Kalian adalah anak emas program ini.

Tapi jika sekolahmu ada di pelosok, jauh dari sapi, jangan khawatir. Menu kalian akan “diupgrade” dengan telur dan daun kelor.

Menurut Dadan, “Kalau bukan di daerah peternakan, tidak usah dipaksakan.” Sebuah pernyataan yang terasa seperti versi modern dari pepatah “Di mana bumi dipijak, di situ daun kelor dijadikan lauk.”

Untuk kalian yang bertanya-tanya kenapa daun kelor? Jawabannya simpel, itu murah, tumbuh di mana-mana, dan katanya kalsium cukup tinggi.

Jangan salah, ini inovasi! Bayangkan, dari susu pasteurisasi ala Eropa, kita sekarang punya “smoothie kelor lokal.”

Mari kita berikan tepuk tangan kepada Pujon, Malang, yang dijadikan role model dalam program ini. Dengan koperasi susu yang bahkan bisa memasok 20 persen susu segar ke dalam menu anak-anak, Pujon adalah bukti bahwa peternakan + logistik = anak bahagia.

Namun, mari kita bayangkan murid di luar Pujon membaca berita ini, Anak di Malang: “Yeay, susu segar!”

Anak di pelosok, “Kita dapat apa? Telur?”

Program ini katanya akan mulai di 932 titik pada Januari 2025, dan berkembang hingga 5.000 titik pada Agustus 2025. Mungkin ini maksud pemerintah dengan istilah “membangun Indonesia dari pinggiran” susu untuk sentra, daun kelor untuk pinggiran.

Jangan lupa, susu segar yang diberikan minimal harus mengandung 20 persen susu segar. Angka yang bikin kita bertanya-tanya, sisanya apa? Mungkin air galon dan doa supaya gizi tetap tercukupi.

Program ini memang gratis, tapi jangan harap rasanya seragam. Anak di sentra sapi mungkin bisa bergaya ala Eropa dengan gelas susu di tangan. Sementara itu, anak di pelosok bisa berbangga dengan “nasionalisme gizi lokal.”

Apakah ini langkah besar bagi gizi bangsa atau sekadar eksperimen ala trial and error? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Sementara itu, mari kita nikmati sajian kisah ini dengan secangkir teh kelor, karena susu, seperti biasa, hanya untuk mereka yang beruntung.

#camanewak