Aktivis Berkuasa, Ketika Perlawanan Menjelma Jadi Kekuasaan Baru

Oleh : Benz Jono Hartono [ Praktisi Media Massa dan Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat ]

*BAB 1*
*Dari Jalanan ke Istana Romantika Perlawanan*

AKTIVISME selalu memulai langkahnya dari tempat-tempat kasar, kampus, lorong-lorong sempit, sudut kota yang penuh spanduk tuntutan.

Di sana idealisme tumbuh, bukan dari kemewahan, melainkan dari perlawanan terhadap hidup yang keras.

Di jalanan, mereka belajar satu hal, suara rakyat adalah kekuatan.
Mereka menantang penguasa yang terlalu lama duduk manis di kursi kekuasaan.

Mereka berjalan tanpa takut, meski hanya bersenjatakan megafon dan poster bertuliskan keluh kesah bangsa. Dari setiap aksi, terbentuklah narasi besar: bahwa perubahan hanya mungkin terjadi jika penguasa diguncang dari luar.

Namun, jalan panjang sejarah memperlihatkan fakta lain, Suatu hari, para aktivis itu sendiri dipanggil masuk ke istana yang dulu mereka guncang.

Mereka tidak lagi berteriak dari luar pagar, melainkan kini duduk rapat di dalam ruang yang sama dengan mereka yang pernah mereka kecam.

Di titik itulah semua idealisme diuji, *”_Apakah mereka tetap menjadi pembela rakyat?”_*
*_Atau berubah menjadi penjaga privilese baru?_*

Hal ini membuka pintu dari sebuah ironi yang akan berlangsung panjang,
bahwa perjuangan terbesar aktivis bukan melawan kekuasaan, tetapi melawan dirinya sendiri saat memegang kekuasaan itu.

*BAB 2*
*Ilusi Perjuangan yang Tak Berujung*

Setiap demonstrasi menyimpan rasa kemenangan psikologis,
teriakan lantang membuat hati merasa sedang berada di pihak kebenaran.

Sayangnya, psikologi aktivis sering terjebak dalam ilusi heroisme permanen, bahwa selama mereka melawan penguasa, mereka otomatis adalah pahlawan rakyat.

Padahal, kebenaran perjuangan tidak ditentukan oleh siapa lawannya, tetapi oleh integritas tujuannya.

Ketika seorang aktivis mulai menyadari bahwa memegang megafon tidak cukup mengubah nasib bangsa, mereka tergoda mencari pintu lain — pintu kekuasaan.
Di sinilah jebakan yang halus mulai bekerja.

*Aktivisme berubah menjadi modal politik*

Rakyat hanya jadi gambar sampul kampanye
Perjuangan menjadi ambisi untuk naik kelas sosial
Miskin menjadi pengalaman tragis yang dijual demi simpati

Pada akhirnya, sebagian aktivis lupa bahwa aktivisme bukan profesi politik…tetapi amanah moral.

Dan begitu lupa, mereka mudah sekali berkata: *_“Sekarang giliran kami menikmati fasilitas kekuasaan.”_*

Ilusi idealisme itu runtuh — bukan karena penguasa lama,
tetapi karena diri sendiri tidak kuat menahan godaan.

*BAB 3*
*Memasuki Sistem Ujian yang Sesungguhnya*

Saat aktivis melangkah ke dalam ruang kekuasaan, mereka memasuki medan tempur baru, kompromi.

*Dulu:*

Mereka melawan kekuasaan dari luar
Setiap korupsi adalah musuh
Setiap privilese adalah kutukan

*Kini:*

Mereka mulai bernegosiasi
Mereka belajar bahwa membuat kebijakan itu rumit

Mereka melihat bahwa kekuasaan memiliki logikanya sendiri

Di titik inilah terjadi transformasi berbahaya, *_kritik berubah menjadi pembenaran diri._*

Kekuasaan bukan lagi musuh, tetapi cermin.
Di cermin itu, mereka melihat bayangan baru:

*_lebih rapih, lebih mewah… lebih sewenang-wenang._*

Yang dulu mereka lawan, kini mereka tiru — tanpa sadar.

Mereka berpikir:
*_“Kalau dulu mereka bisa menikmati fasilitas negara, sekarang giliran kami.”_*

Dan di sanalah awal mula pengkhianatan aktivisme dimulai.

*BAB 4*
*Studi Kasus Indonesia, Dari

Reformasi ke Reformatasi Kekayaan*
Indonesia memiliki sejarah unik,
aktivis terjun ke birokrasi dianggap kemenangan rakyat.

Namun setelah duduk di kursi empuk kekuasaan,
Ada yang tersangkut korupsi

Ada yang jadi bagian oligarki baru
Ada yang membungkam kritik generasi penerus aktivis

Rakyat pun bertanya, *_“Apakah perjuangan kalian dulu untuk kami?_*
*_Atau hanya untuk karier kalian sendiri?”_*

Gerakan reformasi melahirkan penguasa,
tapi sebagian dari mereka justru menutup pintu perubahan.

Aktivis yang dulu meneriakkan demokrasi,
kini marah ketika mereka dikritik.

Di sinilah tragedi aktivisme kita,
Penguasa baru lebih alergi kritik daripada penguasa lama.

*BAB 5*
*Studi Kasus Internasional, Aktivisme yang Menjadi Tirani Baru*

A. Amerika Latin

Di Venezuela dan Bolivia, pemimpin dari gerakan rakyat awalnya membawa harapan untuk kaum miskin.

Namun ketika kekuasaan semakin panjang, Demokrasi melemah
Korupsi meningkat
Penguasa baru menyerupai diktator yang dulu mereka lawan.

*B. Timur Tengah*

Arab Spring melahirkan aktivis dalam pemerintahan.
Namun hasilnya?
Kekacauan politik
Militer kembali berkuasa
Aktivis malah jadi pelarian
Demokrasi runtuh sebelum sempat berakar.

*C. Asia Tenggara*

Terlalu sering aktivis tampil sebagai simbol perubahan…
namun akhirnya terseret arus dinasti politik dan kepentingan ekonomi.

Pelajaran besar dunia,
Aktivis tanpa integritas dalam kekuasaan,
dari pahlawan menjadi penguasa baru yang menindas.

*BAB 6*
*Psikologi Balas Dendam Kelas*

Tidak semua balas dendam menggunakan senjata.
Ada yang menggunakan kebijakan.

Sebagian aktivis menyimpan trauma kemiskinan.
Saat berkuasa, trauma itu membentuk sikap:
_*“Saya pernah menderita,* *sekarang saya harus*
*dihormati.”_*

Mereka bukan membalas dendam pada orang kaya,
tetapi pada simbol kemiskinan yang dulu menghina mereka.

*Akibatnya:*
Rakyat kembali jadi korban

Kebijakan dibuat untuk gengsi, bukan kepentingan umum

Kekuasaan jadi panggung pembuktian superioritas sosial

Mereka bukan memperbaiki nasib rakyat miskin, mereka justru melupakan dunia yang pernah melahirkan mereka.

*BAB 7*
*Etika Kekuasaan untuk Aktivis*

Aktivisme tanpa etika hanyalah ambisi.
Kekuasaan tanpa moral hanyalah kediktatoran yang menunggu waktu.

Maka aktivis harus memiliki prinsip:
Tidak menggunakan kekuasaan untuk membalas masa lalu

Tidak menikmati fasilitas secara berlebihan

Menjadikan kritik sebagai vitamin, bukan racun

Mendahulukan rakyat daripada partai dan kelompok

Kekuasaan adalah arena pembuktian sejati:
*_Apakah aktivis benar-benar mencintai rakyat?_*
*_Atau hanya mencintai dirinya yang merasa paling benar?_*

*BAB 8*
*Generasi Aktivisme Baru Anti-Penguasa Baru*

ini adalah peringatan,
Gerakan yang besar bisa hancur oleh ego yang kecil.

Generasi baru harus lebih kuat:

Idealisme tinggi

Mental sehat

Akal waras dalam kekuasaan

Mereka tidak boleh lagi terjebak dalam siklus: *“aktivis → kekuasaan → tirani baru”.*

Mereka harus membuktikan:

Aktivisme bukan karier

Perubahan bukan spanduk

Kekuasaan bukan hadiah

Kekuasaan adalah amanah yang harus dikembalikan ke rakyat
tanpa noda, tanpa dendam.

Karena perubahan sejati bukan ketika aktivis merebut kekuasaan,
tetapi ketika rakyat merasakan keadilan dari kekuasaan itu.

TAGGED:
Share This Article
Exit mobile version