Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh (bagian 2)

Oleh : Wina Armada Sukardi

BAGI kaum muslim, sholat subuh di mesjid, tentu, pertama-tama dan yang utama, lantaran untuk menjalankan perintah Allah. Sebagai pembuktian kita benar-benar tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Sebuah upaya untuk mencari keridloan dari Sang Pencipta.

Di luar hal tersebut, sholat subuh juga rupanya memberikan pelajaran lain kepada kita: esensi demokrasi. Sholat subuh mengingatkan kita, dalam hidup, banyak warna. Plural. Jamak. Bukan warna tunggal. Dan kita diajari agar wajib menghargai perbedaan-perbedaan itu dengan ikhlas.
Islam pada halekatnya, dimanapun dan kapanpun, cuma satu.

Sumbernya sama: Al Quran dan Hadis. Semua harus berpegang dan berpdoman kepada Al Quran dan hadis. Bukan yang lain. Kendati begitu, dalam pelaksanaannya, terdapat berbagai tafsir yang menyebabkan implementasinya juga dapat berbeda-beda.

Sepanjang tidak menyimpang dari kerangka inti ajaran agama Islam, perbedaan itu tentu bukan hal yang tabu. Bukan sesuatu yang perlu dihadapi dengan kebencian.

Setidaknya dalam pelaksanaan sholat subuh perbedaan itu terlihat jelas. Dimulai dari perbedaan “klasik “ pelaksanaan sholat subuh: qunut.

Sudah jamak dalam sholat subuh, ada yang memakai qunut dan ada yang tidak memakainya. Do’a Qunut adalah sebuah amalan sunnah yang dibaca pada rakat kedua saat shalat subuh. Pada perbedaan soal ini, dapat terjadi jemaah yang berfaham tidak membaca qunut, sholat subuh di mesjid yang menerapkan qunut.

Dari pengamatan saya, ada dua sikap yang diperlihat oleh jemaah yang biasa tidak memakai qunut di mesjid yang menerapkan qunut. Pertama, mereka lantaran toleransi dan menghormati jemaah di mesjid itu, walaupun berfaham tidak membaca qunut, mereka ikut mengadahkan tangan dan mengikuti pembaca qunut.

Sedangkan yang kedua, karena berpandangan tidak membaca qunut merupakan bagian dari hak-hak masing-masing, mengambil sikap diam saja, dengan kedua tangan tetap di bawah. Setelah masuk sujud, mereka kembali bergabung.

Buat yang biasa memakai qunut pun masih terbagi dua. Ada yang biasa memakai bacaan qunut pendek, lima kalimat, namun ada juga yang memakai bacaan qunut panjang. Umumnya apabila yang biasa menerapkan bacaan qunut pendek, kalau kebetulan berada di mesjid yang menerapkan qunut dengan bacaan panjang, mereka ikut dalam jemaah dengan bacaan qunut panjang, Sebaliknya juga begitu.

Mereka yang biasa melakukan qunut panjang, sholat di mesjid yang memakai qunut pendek, juga ikut saja
Disini sholat subuh sudah mengajarkan kita untuk belajar memahami adanya perbedaaan dan toleransi terhadap adanya perbedaan itu. Sejak sholat subuh kita sudah dididik perbedaan merupakan sesuatu yang wajar. Sesuatu yang biasa saja. Kita pun diajarkan untuk toleransi terhadap perbedaan itu. Bukan menjadikan sumber permusuhan.

Selain soal qunut, dari pengalaman saya, masih ada perbedaan-perbedaan lain dalam sholat subuh. Ada yang setelah sholat subuh lantas zikir, dilanjutkan dengan membaca doa bersama. Zikir dan doa bersama dipimpin iman dan jemaat tinggal “mengaminkan” saja. Barulah sehabis doa bersama sholat subuh selesai.

Tak semua jemaah sepaham setelah zikir ada doa bersama. Sebagian jemaah berpandangan, sesudah sholat wajib tak ada lagi kewajiban melafalkan doa bersama. Jadi, mereka tidak ikut doa bersama. Mereka dapat langsung pulang, atau mereka masing-masing melanjutkan doa sendiri-sendiri saja.

Selesai sholat pun masih tetap ada perbedaan. Sebagian jemaah selesai sholat saling bersalaman dengan satu dua atau tiga jemaah di sisi kanan kirinya. Sebagian besar jemaah memandang “tradisi” salaman ini bagian dari silaturahmi dan merupakan hubungan antara manusia.
Kendati begitu, jangan kaget, ketika kita mengulurkan tangan untuk bersalaman, ada jemaah yang tidak berkenan alias menolak bersalaman.

Kalau pun mereka mau juga bersalaman, lebih karena keterpaksaan saja. Bagi mereka tidak ada ketentuannya setelah sholat harus bersalaman. Jadi usai sholat mereka menganggap tidak perlu ada proses bersalam-salaman.

Sepanjang pengamatan saya, perbedaan -perbedaan dalam pelaksanaan sholat subuh dan segera setelahnya, dipandang sebagai perbedaan biasa yang masih dalam batas-batas ruang lingkup ajaran agama. Bukan sesuatu yang aneh. Bukan sesuatu yang sesat.

Oleh lantaran itu kaum
jemaah sholat subuh saling memahami, menghormati dan bertoleransi. Hubungan sosialnya pun tetap harmonis.
Dalam hal ini tidak ada yang merasa lebih hebat dari yang lain. Tidak ada yang saling menuding dan menyalah-nyalahkan. Apalagi sampai mengkafir-kafirkan satu dengan lain.

Di luar niat kita sholat subuh sebagai pelaksana bakti kita kepada Sang Yang Maha Esa Tuhan Semesta Alam, sholat subuh rupanya juga memberikan pembelajaran memgenai perlunya menerapkan esensi demokrasi.

Hidup perlu menghargai perbedaan. Kita diingatkan, jangankan dengan umat lain, sesama muslim saja walaupun sumber sama-sama Al Quran dan hadis, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa perbedaan.

Apalagi dengan yang jelas-jelas berbeda agama. Sudah pasti mengandung perbedaan-perbedaan mendasar. Kita sejak sholat subuh sudah diajarkan dan dibiasakan untuk menghadapi pelbagai perbedaan. Kita sudah dikondisikan perbedaan bukanlah berarti permusuhan. Kita sudah biasakan untuk saling menghormati. Saling toleransi.
Betapa hebatbya sholat subuh di mesjid.
T a b i k.****

*Wina Armada Sukardi*

Wartawan dan advokat senior, dan anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhamadiyah.

(Tulisan ini merupakan repotase dan opini pribadi dan tidak mewakili oragnisasi).