Wartawan Korupsi

FOTO : DR Rosadi Jamani (ist)

Oleh : DR Rosadi Jamani (Ketua Satupena Kalimantan Barat)

KALI INI SAYA SALAH. Gentle mengakui kesalahan. Soal pemerasan. Dalam pemahaman saya selama ini, pemerasan itu adalah kriminal. Bukan unsur korupsi.

Ada kawan dosen menanggapi tulisan saya, kasus menimpa Firli Bahuri, Ketua KPK menjadi tersangka kasus pemerasan SYL.

Ia mengatakan, pemerasan dilakukan Firli masuk kategori korupsi. Lalu, saya jawab, pemerasan bukan korupsi.

Ada kawan dosen lainnya meluruskan, ada tujuh kategori korupsi. Salah satunya, pemerasan.

Saya diminta belajar lagi soal korupsi. Agak gimana diingatkan kawan. Saya coba cari tahu, apakah pemerasan masuk unsur korupsi.

Ketemu UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dijelaskan dalam undang-undang ini ada tujuh kategori korupsi, yakni penyelewengan keuangan negara, suap menyuap, penggelapan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Nah, pemerasan masuk rupanya.

Setelah baca itu, saya ucapkan terima kasih sudah dikasih tahu. Jadi pengetahuan baru. Mengapa saya fokus ke pemerasan.

Sebab, saat jadi wartawan, sering mendengar ada wartawan suka meras. Wartawan tukang peras, ujungnya minta uang.

Berita kasus jadi tak naik cetak. Awalnya saya beranggapan itu kriminal saja, rupanya korupsi (ordinary crime).

Wartawan yang suka meras berarti bisa dicap sebagai wartawan korupsi. Ia bisa ditangkap KPK juga, tak hanya polisi atau jaksa saja.

Tapi, sejauh ini belum ada wartawan ditangkap KPK. Ditangkap polisi, sering karena meras.

 

 

 

#camanewak