Siapa Sebenarnya Tidak Jujur?

Oleh : Rosadi Jamani [Dosen UNU Kalbar]

BEBERAPA hari ini memang absen nulis politik di Kalbar. Mungkin, landai-landai saja. Cuma, saya sering dikirimi kawan cerita anak mecat ayahnya.

Lalu, dibantah itu tidak benar. Muncul sebuah video dengan ungkapan, “Siapa sebenarnya yang berbohong?” Siapkan kopi dan goreng pisang, yok kita bahas!

Topik kejujuran di dunia politik. Seolah-olah, semua politisi tiba-tiba diajak masuk kelas agama, ditanya satu-satu,

“Kamu sudah jujur belum hari ini?” Bayangkan saja, minta politisi untuk jujur itu sama dengan minta buaya puasa daging! Ini kan, absurd.

Pertanyaan tentang siapa yang tidak jujur dalam politik rasanya sudah tak perlu lagi dijawab, karena kita semua tahu, jawabannya adalah, hampir semuanya! Hampir ya…

Bayangkan kalau politisi tiba-tiba jujur semua, bisa-bisa seminar anti-korupsi jadi acara komedi nasional. Sudah ada ungkapan populer yang mengatakan,

“Mana ada politisi yang jujur?” Itu bukan sekadar pernyataan, tapi realitas yang diwariskan turun-temurun. Layaknya resep masakan keluarga yang sudah pasti tidak akan berubah. Kalau tiba-tiba seorang politisi berkata jujur, kita patut khawatir, apakah dia lagi sakit atau sedang kehabisan ide bohong.

Di mata para teoritisi politik, kejujuran itu mirip dengan Kuntilanak. Kita tahu konsepnya ada, tapi belum pernah benar-benar melihatnya. Dalam teori politik, ada Machiavellianism, sebuah ajaran yang mengatakan kalau penguasa itu harus lebih licin dari belut yang dikasih minyak jelantah.

Di sini, kebohongan dianggap sebagai bagian dari strategi bertahan hidup. Jika politisi tiba-tiba berubah jujur, maka dia akan dianggap kurang cerdas. Bahkan, bisa jadi dianggap tidak lulus pendidikan politik dasar.

Dalam teori politik realis, kejujuran dianggap seperti embun di pagi hari, indah, tapi menguap saat matahari terbit.

Coba kita telaah secara empiris, apa yang terjadi pada orang-orang jujur di pemerintahan? Mereka ini biasanya akan mengalami tiga hal: mutasi, di-staf-kan, atau ditempatkan di “tempat kering.” Bahasa gampangnya, dijadikan patung di sudut ruangan tanpa AC.

Miris, ya? itulah kenyataannya. Seorang pegawai jujur bakalan lebih cepat dimutasi dari pada politisi yang baru saja ketahuan korupsi. Bahkan, kalau orang jujur itu sampai dapat jabatan, kita patut bertanya-tanya: “Ini rezeki atau salah kirim SK?”

Dalam dunia politik elektoral, orang jujur mirip dengan tempe tanpa kedelai. Ada tapi rasanya tak pernah pas. Pemilih pun sudah tahu, orang yang terlalu jujur tak akan pernah mendapat tempat di kursi kekuasaan.

Kenapa? Karena dalam dunia politik, jujur itu ibarat bermain catur sambil jujur menyebutkan langkah-langkah kita di awal permainan. Lawan akan langsung cekmate kita dengan satu langkah.

Tak heran kalau partai-partai pun lebih suka kandidat yang bisa melingkar-lingkar antara kebenaran dan kebohongan, sambil mengucapkan janji manis dengan senyum penuh gigi.

Ada satu teori menarik dalam politik, yaitu teori falsifikasi. Teori ini menyatakan bahwa dalam setiap narasi politik, harus ada unsur manipulasi dan kebohongan.

Kenapa begitu? Karena kalau politisi tidak berbohong, maka mereka akan dianggap kurang kreatif. Sungguh, menuntut kejujuran dari politisi sama saja seperti berharap air laut menjadi tawar.

Logikanya, air laut asin itu sudah kodratnya, begitu juga politisi, berbohong adalah kodrat mereka.

Terakhir, mari kita berbicara tentang masyarakat. Kita ini, lucunya, masih berharap kejujuran dari politisi, seperti seorang jomblo yang berharap balasan pesan dari gebetan yang sudah lama di-ghosting.

Padahal, sudah berkali-kali kita disakiti, dikhianati, bahkan ditipu, tapi tetap saja kita percaya pada janji manis di setiap masa kampanye. Mirip banget kan sama drama cinta yang kita saksikan di sinetron sore?

Kalau ada yang masih berharap politisi jujur, mungkin perlu belajar memahami realitas politik. Kejujuran dalam politik itu mitos. Sama seperti cerita tentang Nyi Roro Kidul, dia ada, tapi tak pernah benar-benar kelihatan.

Jadi, menuntut kejujuran dari politisi itu ibarat berharap kucing belajar cara menggonggong. Tidak akan terjadi, wak! Mari kita nikmati saja sandiwara politik ini.

Siapa tahu suatu hari nanti, kita bisa tertawa terbahak-bahak menyaksikan pertunjukan besar yang disebut “politik jujur” di negeri ini, meski mungkin hanya di dunia mimpi.

 

 

 

#camanewak