Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
ELITE Golkar memang tak pernah kehabisan cerita. Kali ini, panggungnya bukan pilkada, bukan pilpres, tapi rebutan kursi Ketua PMI.
Ya, Palang Merah Indonesia. Organisasi kemanusiaan yang mestinya jadi simbol perdamaian, malah jadi medan perang dua titan politik: Jusuf Kalla dan Agung Laksono. Ini bukan drama biasa, ini sudah level sinetron epik.
Kementerian Hukum sudah mengesahkan kepengurusan Jusuf Kalla. Semua harusnya selesai. Tapi, seperti kebiasaan elit politik kita, selesai itu tidak pernah benar-benar selesai.
Kubu Agung Laksono tidak terima. Mereka mengancam akan membawa sengketa ini ke PTUN.
“Keadilan harus dicari,” kata Ulla Nurchrawaty, Sekjen versi Agung.
Sebuah pernyataan yang terasa heroik, sampai kita ingat bahwa yang mereka rebutkan adalah jabatan, bukan nyawa manusia.
AD/ART menjadi kitab suci yang diperdebatkan. Kubu Agung menuduh kubu JK mengubahnya tanpa Munas. Sebuah dosa besar, katanya.
Sementara itu, kubu JK tetap berdiri tegak dengan SK Menteri sebagai tameng. Dua kubu ini seperti dua pendekar dengan jurus masing-masing. Tapi yang terluka? PMI itu sendiri.
Munas ke-22 digelar. Hasilnya, Jusuf Kalla terpilih lagi secara aklamasi. Semua setuju. Semua puas. Kecuali, tentu saja, kubu Agung Laksono. Mereka langsung bikin Munas tandingan.
Dan voila, Agung Laksono pun jadi Ketua. Dua ketua dalam satu organisasi. Ini bukan lagi PMI, ini sudah seperti episode panjang dari drama politik.
Konflik ini semakin dramatis dengan tuduhan-tuduhan kejanggalan. Mikrofon mati. Internet putus. Interupsi dilarang. Munas ini lebih mirip pertunjukan teater absurd ketimbang forum demokrasi. Bayangkan, di era digital ini, mereka masih bertarung soal mikrofon.
Sementara itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas sudah turun tangan. Kepengurusan JK sah, katanya.
Tapi pernyataan ini tidak membuat kubu Agung mundur. Drama tetap berlanjut. Seperti sinetron tanpa akhir, babak baru selalu muncul.
PMI sekarang punya dua ketua. Dua pemimpin, satu organisasi. Ini bukan lagi soal kemanusiaan. Ini soal ego.
Dan ego tidak mengenal batas. PMI, yang seharusnya jadi simbol penyelamat, sekarang berubah menjadi simbol perebutan.
Sudahlah, Bapak-Bapak. Kami lelah. Kalau darah Anda mendidih, tolong jangan tumpahkan ke rakyat.
Drama ini milik Anda, bukan kami. Kami hanya ingin hidup tenang. Kalau boleh jujur, kami sudah kenyang dengan drama politik. Ini terlalu.
Tolong, selesaikan di meja. Bukan di media.
#camanewak