UU ITE Cenderung Bungkam Kebebasan Pers, KEPO Hukum Angkat Bicara

Denpasar, radar – kalbar.com- Kalau dulu ada adagiom “Mulutmu adalah Harimaumu” namun kini berubah menjadi “Jari-jari mu adalah harimau mu” sebab semua orang dapat dengan mudah dipidana hanya karena mengkritisi seseorang ataupun sebuah institusi yang termaktub dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008 adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum.

“Mayoritas masyarakat dan para aktivis saat ini berharap agar UU ITE dapat dilakukan peninjauan ulang (review) di Mahkamah Konstitusi dan pemerintah harus memberikan kualifikasi yang jelas terkait curhat, kritik dan penghinaan,” kata Praktisi Hukum Agus Samijaya, SH, MH. saat Diskusi KEPO HUKUM “Silent Killer ITE, Saring Sebelum Sharing’ di Komunitas Edukasi Pondok Hukum ASA Coffee di Denpasar, Sabtu (21/9/2019).

Bila menilik ke belakang, menurut data sejak diberlakukannya UU ITE, dan mulailah pada tahun 2011 ada 3 kasus, tahun 2012 ada 13, tahun 2014 ada 41 dan naik signifikan pada tahun 2018 sebanyak 77 kasus.

“Dan jika dilihat dari tren UU ITE cenderung memenjarakan kelompok media (Jurnalis) aktivis, kelompok mahasiswa, dan biasanya tidak memiliki akses dalam struktur kekuasaan,” kata Agus Samijaya.

Menurutnya, begitu dahsyatnya UU ITE ini digunakan oleh orang-orang yang merasa otoritasnya terganggu, biasanya sangat nuansanya dominan kekuasaannya, dan yang UU ini dicap lebih bengis dan kejam daripada UU subversif, “Pada awalnya memang UU ini untuk mengantisipasi bendungan problematik terkait transaksi E-Commerce, namun anehnya malah menyerempet kepada ranah hukum pidana?”.

Pemerintah harus memberikan kualifikasi terkait curhat, kritik dan penghinaan, Walaupun DPR dan Pemerintah memang telah merevisi 27 ayat 3 namun sebatas lama hukuman dari 6 tahun menjadi 4 tahun, namun akan sia-sia jika Pasal 28 tidaklah di revisi.

“Karena di pasal 28 tidak dijelaskan penjelasan terkait hakikat arti kritikan, curhat dan penghinaan sehingga pasal ini tetap menjadi pasal karet yang bisa dengan mudah mengantarkan orang ke dalam jeruji besi”, Bahkan berbahayanya tren saat ini, orang akan sering menggunakan UU ITE ini untuk membungkam kebebasan pers”, terang Agus.

Jurnalis Senior Rofiqi Hasan berpendapat bahwa sesungguhnya fungsi seorang wartawan adalah sebagai kontrol sosial, dan jika hanya hanya, sebatas memberikan informasi dan mengcover kegiatan sejatinya bukanlan menjadi bagian kontrol sosial.

“Karena sesungguhnya mereka lah yang mewakili publik kalau itu tidak mewakili menjadi bukan pewarta, dan jika ada permasalahan hukum seharusnya diselesaikan dengan UU pokok Pers dan mediasi di Dewan Pers bukan ranah hukum lainnya seperti ancaman jeratan UU ITE,” tutur Rofiqi yang juga aktif di Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Bali.

Penyelenggara diskusi, Gabriel Pareira, SH. menyampaikan bahwa Diskusi bulanan KEPO HUKUM ini menjadi menarik sebab di isi dengan berbagai materi dan persoalan hukum yang tengah berkecamuk di masyarakat yang dilakukan dengan obrolan santai para mahasiswa dan praktisi hukum di Bali.

Diskusi KEPO HUKUM ini juga mendapat inisiasi dan dukungan dari pengurus Kongres Advokat Indonesia (KAI) Bali Nyoman Sudiantara dan Valerian ‘Faris’ Libert Wangge dan Ikatan Wartawan Online (IWO) Bali diwakili oleh Sekretaris DPW,IWO Bali, Putu Artayasa.

 

 

 

 

Sumber : Press release