Pungli Berkedok Study Tour

Oleh : Rosadi Jamani [Ketua Satupena Kalbar ]

TULISAN saya berjudul “Baru Dilantik, Gubernur Jabar Sudah Pecat Kepala Sekolah” mendapat tanggapan luas dari netizen.

Sudah dibaca 600K lebih, dikomentari hampir dua ribu, like hampir 8K, dan dishare ulang 317 kali. Tulisan itu viral.

Tulisan itu seperti membuka kotak pandora soal sekolah suka pungli dengan berbagai dalih dan alasan. Tulisan itu juga membuat banyak orang tua speak up.

“Saya orang tua siswa di SMAN Depok itu. Itu bukan 3,5 juta, tapi 3,8 juta bayar study tournya,” kata salah satu netizen yang berkomentar di akun saya.

Speak up makin banyak. Aksi KDM mencopot Kepsek itu banyak mendapat dukungan publik. Study tour. Kedengarannya edukatif. Kunjungan ilmiah. Ekskursi akademik.

Tapi di balik brosur yang penuh gambar senyum siswa dan ikon destinasi wisata, ada realitas yang lebih pahit dari kopi tanpa gula, pungutan liar berkedok perjalanan belajar.

Bukan rahasia lagi, banyak sekolah menjadikan study tour sebagai proyek tahunan yang lebih mirip usaha travel ketimbang program pendidikan. Biaya yang harus dibayar orang tua? Kadang lebih mahal dari tiket promo ke Eropa.

Destinasi? Bukan laboratorium riset atau museum nasional, tapi tempat-tempat wisata yang lebih banyak wahana selfie dari bahan kajian ilmiah.

SMAN 6 Depok hanyalah puncak gunung es. Setelah kasus ini mencuat, banyak orang tua mulai bersuara. Ternyata, praktik serupa terjadi di banyak sekolah. Dari Sabang sampai Merauke, modusnya seragam, study tour wajib, bayar mahal, dan kalau nggak ikut? Risiko jadi “anak kurang pergaulan” alias terisolasi dari teman-teman sekelas.

Uang yang ditarik dari siswa sering kali tanpa rincian jelas. Transportasi, hotel, makan, semua dibungkus dalam satu paket tanpa transparansi. Harga sering kali melambung lebih tinggi dari harga pasaran.

Kalau ada 300 siswa ikut, dengan biaya Rp 3,4 juta per kepala, totalnya lebih dari Rp 1 miliar. Angka yang lumayan buat modal bisnis, bukan?

Orang tua yang berani bertanya? Dijawab dengan standar, “Ini sudah keputusan sekolah.” Mau debat? Siap-siap anaknya kena “penyakit” nilai misterius.

Lucunya, sekolah-sekolah ini sering berdalih bahwa study tour adalah bagian dari kurikulum. Tapi yang dikunjungi? Pantai, theme park, dan pusat oleh-oleh. Kalau benar untuk edukasi, kenapa nggak ke pusat penelitian, laboratorium sains, atau pabrik industri?

Karena ya itu tadi, ini bukan soal pendidikan. Ini soal jalan-jalan. Kalau bisa dapat keuntungan dari pungutan, kenapa tidak?

Kasus SMAN 6 Depok ini membuka mata. Jika gubernur saja bisa tegas, kenapa orang tua harus diam? Jangan ragu bertanya:

Apakah perjalanan ini benar-benar mendukung pembelajaran? Kenapa biayanya lebih mahal dari paket wisata reguler? Siapa yang sebenarnya diuntungkan?

Satu hal yang pasti, pendidikan seharusnya memberdayakan, bukan membebani. Kalau study tour justru jadi ajang pemerasan terselubung, lebih baik dibatalkan saja.

Atau kalau tetap ngotot, kenapa nggak sekalian minta izin dari Menteri Pariwisata? Biar sekalian jelas, ini program sekolah atau bisnis travel agency?

KDM sudah memutus sekolah dilarang study tour. Kita tak tahu apakah gubernur yang lain ngikut, tak peduli, atau dianggap biasa. Tunggu saja dalam beberapa hari ke depan. Kalau senyap, berarti KDM sendiri yang berani.

#camanewak